24
Suara pintu mobil yang terkunci menjadi satu-satunya suara yang terdengar di area parkir salah satu cafe yang berada di daerah dago atas. Selain itu, cahaya dari beberapa lampu yang berada di ujung lahan parkir menjadi satu-satunya alat penerang yang dapat membantu Lexi untuk setidaknya bisa melihat jalanan yang saat ini tengah ia pijak. Jarak antara tempat parkir dan cafe yang menjadi tempat rutin Lexi dan beberapa temannya berkumpul itu sebenarnya tidak terlalu jauh, namun dengan penerangan yang sangat minim dan juga suasana yang sangat sepi, membuat Lexi merasa jarak yang harus ia tempuh dengan berjalan kaki ini 10x lipat lebih jauh dari jarak yang sebenarnya.
Hembusan angin malam kota Bandung juga bukan main dinginnya, Lexi yang saat ini menggunakan celana jins dan juga outher lengan panjang tetap bisa merasakan tusukan dingin dari angin malam. Dengan perpaduan antara gelap, sepi, dan juga dingin, maka tidak ada satupun alasan yang bisa membuat Lexi memperlambat langkahnya untuk segera sampai ke gedung cafe yang sudah bisa ia lihat dari tempatnya saat ini.
Ketika akhirnya tinggal tersisa beberapa langkah lagi sampa Lexi bisa benar-benar masuk kedala bangunan cafe, terdengar suara yang cukup asing memanggil namanya dari arah belakang.
“Lexi?” kata suara itu lagi, tapi kali ini suaranya terdengar lebih dekat daripada sebelumnya.
“Eh, hai!” Lexi dengan spontan melambaikan tangannya ketika melihat siapa pemiliki suara itu.
“Kebetulan banget ketemu disini, sendirian?” tanya orang itu
“Engga kok, udah janjian sama temen. Akil sendirian?” ya, orang itu adalah Akil. Lelaki yang baru Lexi kenal satu minggu lalu dan baru bertemu dua kali dan saat ini berubah menjadi tiga kali.
“Engga, janjian sama temen juga,” jawab Akil
Setelah itu mereka berdua segera masuk kedalam cafe karena dingin dari angin malam yang membuat dua orang itu menggertakan gigi.
Suasa cafe yang jauh dari kata sepi langsung menyambut Akil dan Lexi yang masih berdiri bersisian, keduanya tengah mencari teman janjian mereka masing-masing yang belum terlihat batang hidungnya. Suara musik dari panggung kecil yang berada di ujung cafe dan juga suara tawa dan dari banyak pengunjung membuat suasa cafe semakin ramai. Lexi mengarahkan pandagannya ke sebelah kanan cafe tempat beberapa orang terlihat tengah menikmati makanan atau hanya sekedar berbincang dengan temannya. Disalah satu meja yang berada di ujung kanan akhirnya Lexi menemukan Gita dan beberapa temannya yang lain tengah mengobrol seru.
“Temen-temen gue ada disebelah sana, Gue duluan ya?” Lexi mendekatkan bibirnya ke telingan Akil agar suaranya dapat terdengar oleh lelaki itu.
“Eh bareng aja, temen gue juga duduk sebelah sana,” jawab Akil
“Hah? apa? ga kedengeran!” Suara tepuk tangan dari beberapa pengunjung yang dimaksud untuk salah satu band indie yang baru saja menyelesaikan lagunya membuat suara Akil sama sekali tidak terdengar di telingan Lexi.
Tanpa kembali memastikan apa yang barusan Akil katakan, Lexi langsung berjalan kearah meja yang ditempati Gita dan teman-temannya.
“Git.” Lexi menepuk bahu Gita yang saat ini tengah duduk membelakanginya.
“Eh sampe juga lo!” Gita berdiri dan memberikan pelukan singkat pada sahabatnya itu.
“Eh bro! Akhirnya dateng juga!” kali ini Rama yang berdiri dari duduknya. Tapi sebentar, apa barusan yang Rama katakan? Bro? sejak kapan Rama memanggil Lexi dengan sebutan 'bro'?
Lexi langsung membalikan badannya dan melihat Akil yang saat ini tengah berdiri di belakangnya, lelaki itu baru saya melakukan fist bump dengan Rama.
“Kok bisa dateng barengan lu berdua?” tanya Rama
“Iya tadi ketemu di depan,” jawab Lexi.