48

“Lex,” panggil Akil begitu mobil keluar dari halaman parkir kantor.

“Ya?”

“Mau langsung pulang atau mau cabut kemana dulu gak?” tanya Akil.

“Bebas sih,”

“Lo gak ada acara apa-apa abis ini?” tanya Akil lagi.

“Gak ada kok.”

Akil diam beberapa saat, ia mengetukan jarinya yang berada di atas setir, nampak sedikit ragu dengan entah apapun yang akan ia katakan selanjutnya. Lexi yang saat ini atensinya masih terfokus pada lelaki di sampingnya itu menyadari kegugupan Akil yang terlihat sangat jelas itu.

“Kenapa emangnya, Kil?” tanya Lexi.

Akil mengusap tengkuknya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya masih berada di atas setir mobil. “Temenin gue ke PVJ bentar mau gak?” tanya Akil sambil mengalihkan pandangannya ke arah Lexi yang duduk di sebelahnya.

“Ayo,” jawaban serta anggukan Lexi berhasil membuat senyuman muncul di wajah tampan itu.

“Bentar doang kok, temen gue mau ngembaliin barang. Gak apa-apa kan ketemu temen gue?”

“Yaa gak apa-apa lah. Asal temen lo ga gigit aja,” jawaban asal Lexi berhasil membuat Akil tertawa.

“Lo kok ketawa sih, Kil. Garing banget padahal?!” Lexi membalikan badannya ke arah Akil.

“Ya itu, karena garing banget jadi gue ketawa.”

“Sialannnn!” Kali ini suara tawa keduanya memenuhi seisi mobil mercy Akil. Mengalahkan lantunan suara Lauv yang terdengar dari speaker mobil.


Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama—karena jarak kantor dan mall yang meraka tuju tidak terlalu jauh— akhinya keduanya sampai dan memutuskan untuk mendatangi salah satu coffe shop di mall tersebut sebagai tujuan pertama dan segera duduk di salah satu meja bulat yang masih kosong. Akil mengeluarkan hpnya yang berada di saku celana jins yang ia pakai, terlihat mengetik sesuatu di sana.

“Lex, mau pesen apa?” tanya Akil. Ia menaruh hpnya di atas meja, bersamaan dengan kunci mobil.

“Green tea latte aja,” jawab Lexi

“Oke.” Akil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kasir, memesan minuman untuk mereka berdua.

“Tumben gak gitu rame, biasanya agak susah dapet meja kosong,” kata Lexi sekembalinya Akil dari memesan minuman.

“Iya, ya. Biasanya penuh sama yang laptopan.”

“Heeh.”

“Temen gue agak ngaret dikit, kena macet daerah cihampelas katanya,” kata Akil setelah membaca pesan yang baru masuk di notifikasi hpnya.

Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Lexi yang memang duduk menghadap pintu masuk melihat seorang lelaki dengan tubuh jangkung dan muka blasteran Indonesia-Jepang—yang terlihat sangat jelas— berjalan menghampiri meja yang ditempati mereka berdua.

“Kil! Sorry banget nunggu lama gak?” Kedua lelaki itu berjabat tangan.

“Engga, nyantai lah—”

“—Bang, kenalin ini Lexi, Lex ini Bang Yoshi temen kerja gue.” Lexi bangkit dari duduknya dan membalas jabatan tangan Yoshi.

“Yoshi,”

“Lexi.” Lelaki jangkuk itu tersenyum yang membuat kerut di kedua pipinya muncul—seperti kucing.

“Duduk Bang, pesen minum gak lo?” tanya Akil ketika Yoshi menarik kursi yang berada di sebelahnya.

“Ntaran aja lah, gampang,” jawab Yoshi.

“Gimana project Bali kemarin? lancar nih gue liat-liat?” Yoshi menyisir rambut hitam sebahunya dengan jari tangan.

“Lancar sih Bang, ngambil di beberapa spot doang. Agak ribet karena pake model jadi biasalah molor dikit,”

“Wah, ngamuk tuh si Jefri kalo ada disana.” Yoshi menggelengkan kepalanya.

“Lexi kemarin join ke Bali juga?” tanya Yoshi.

Lexi yang agak kaget dengan pertanyaan mendadak ini seketika melirik bingung kearah Akil yang ada di depannya.

“E-eh engga,” jawabnya sambil tersenyum sedikit canggung.

“Lah, bukan bang. Ini mah temen gue.” Akil melirik Lexi dengan senyum di bibirnya yang entah kenapa secara tiba-tiba membuat jantung Lexi berdetak lebih cepat dari pada seharusnya.

“Eh aduh sorry, gue kiraaa.” Yoshi mengusap tengkuknya, merasa sedikit malu karena ke sok tahuannya ini yang dibalas senyuman maklum oleh Lexi.

Kedua lelaki itu tengah asik mengobrol tentang photography yang Lexi yakini bahwa Yoshi juga berkeja di bidang sama dengan Akil. Namun Lexi sama sekali tidak merasa bahwa ia left out dari obrolan dua orang ini, karena baik Akil maupun Yoshi tetap mengajak Lexi untuk bisa ikut dalam pembicaraan mereka. Terlebih lagi Akil yang setiap beberapa saat sekali melihat kearah Lexi dan masih dengan senyuman yang lagi-lagi membuat jantung Lexi entah berdetak tidak karuan.

“Gue cabut duluan ya, ada perlu lagi nih abis ini.” Yoshi memasukan hpnya yang sedari tadi berada di atas meja kedalam saku celana jinsnya.

“Thanks banget ya, Kil, udah minjemin lensanya. Doain gue dah cepet kebeli jadi kaga minjem punya lu terus.” Akil tertawa sambil menepuk pundak Yoshi.

“Nyantai lah, lu kaya ke siapa aja, bang.”

“Lexi, pamit duluan ya, ketemu lagi nanti!”

“Iya, siap!” jawab Lexi sambil mengaacungkan jempolnya.

“Oke deh, pamit ya gue!” Akil dan Yoshi berpelukan singkat, saling menepuk punggung masing-masing.

“Mau pulang sekarang?” tanya Akil setelah keduanya duduk di kursi masing-masing.

“Lo udah gak ada yang mau dicari atau dibeli?” tanya balik Lexi.

“Engga, sih. Lo?”

“Engga juga.”

“Yaudah, pulang aja yuk?”

“Yukk!”