***
Ini bukan pertama kalinya Ambar menginjakan kaki di sekolah dengan gedung empat tingkat berwarna putih-biru dengan lapangan berukuran cukup besar di depannya itu. Tapi perbedaannya terletak pada siapa orang yang membuat ia datang ke sekolah ini. 1 bulan lalu Ambar datang kesini dengan tujuan untuk menghadiri rapat sebagai wali dari sepupunya—Lula, karena Zefanya—ibu Lula, berhalangan untuk hadir. Tapi hari ini, Ambar datang bukan untuk menemui Lula, tapi perempuan dengan rambut coklat itu datang karena secara kebetulan ia baru selesai pergi makan siang bersama Jovan—yang mungkin kini telah menjadi rutinitas mereka berdua— dan anak Jovan yang jatuh sakit dan tentu saja membuat lelaki dengan tinggi 182 cm itu panik dan tanpa pikir panjang langsung menjalankan mobilnya ke arah sekolah ini.
Suara langkah kaki Jovan dan Ambar terdengar membelah sunyinya lorong sekolah, keduanya melangkah terburu-buru melewati jajaran pintu dan jendela kelas menuju ruang uks yang berada di ujung lorong. Pintu kayu berwarna coklat itu sedikit terbuka ketika akhirnya Jovan dan Ambar sampai di depannya.
“Silahkan masuk pak, Nasya ada di kasur paling ujung.” Seorang perempuan berambut sebahu yang baru saja keluar dari balik pintu UKS itu tersenyum ramah ke arah Jovan dan Ambar.
Jovan menganggukan kepala lalu berjalan memasuki ruangan dengan ukuran tidak terlalu besar itu. Raut wajahnya terlihat sangat serius, masih sama sejak ia menerima pesan dari guru Nasya tadi. Ambar yang berjalan di belakangnya tersenyum sambil menganggukan kepala pada perempuan berambut pendek yang Ambar tebak sebagai guru Nasya yang tadi menghubungi Jovan.
Ada tiga kasur dengan ukuran kecil yang hanya cukup untuk 1 orang berjejer di dalam ruangan UKS ini, masing-masing kasur memiliki tirai putih yang bergantung melingkar—menutupi setiap kasur. Jovan berjalan ke arah tirai berwarna putih yang terletak di paling ujung ruangan, menyibak pelan tirai itu. Dari tempat Ambar berdiri—tepat di belakang Jovan, ia melihat seorang anak perempuan yang mungkin tingginya sama dengan Lula tengah berbaring di atas kasur dengan selimut putih yang menutupi separuh badannya.
Cantik, adalah kata pertama yang melintas dipikiran Ambar ketika ia melihat Nasya, padahal ini bukan pertama kali ia melihat wajah anak perempuan itu—sebelumnya Ambar pernah melihat Nasya lewat beberapa foto yang dikirim Jovan. Kulit wajahnya putih bersih, hidungnya mancung—persis seperti Jovan, matanya yang terpejam membuat bulu matanya terlihat panjang dan lentik, dan bibir tipis berwarna merah muda, sama dengan kedua pipinya.
“Pumpkin...” Jovan duduk di kursi yang berada di samping kiri kasur, tangannya mengusap lembut puncak kepala Nasya.
“Papi?” Nasya membuka matanya, keningnya berkerut, seakan anak perempuan itu tengah menahan rasa sakit.
“Apa yang sakit sayang?” tanya Jovan, terdengar jelas nada cemas dari suaranya.
“Perutku kram banget pi, kepalaku juga sakit banget,” keluh Nasya.
“Kita ke dokter sekarang ya?” Jovan mengusap lembut kening Nasya dengan ibu jarinya.
“Aku mau pulang aja.” Nasya menggelengkan kepalanya.
“Yaudah iya ayo pulang aja.” Balas Jovan.
Ambar yang dari tadi terdiam dan hanya mendengarkan percakapan ayah dan anak perempuanya ini entah kenapa merasa ada perasaan hangat di dadanya. Melihat Jovan yang menatap Nasya dengan pandangan seakan Nasya adalah dunianya dan Nasya yang juga melihat Jovan seakan-akan hanya Jovan lah satu-satunya tempat Nasya berlindung.