***
“Kalian berdua mau ikut turun apa nunggu di mobil aja?” tanya Jovan ketika mobil berhenti di basement gedung kantornya.
Iya, setelah tadi mereka bertiga memutuskan untuk makan malam bersama, tiba-tiba Jovan mendapat panggilan dari salah satu rekan kerjanya bahwa ada dokumen penting yang harus ia tanda tangani malam ini juga. Maka dari itu selesai makan malam Ambar dan Nasya jadi ikut juga untuk mampir sebenta ke kantor Jovan.
“Aku nunggu di mobil aja, pi,” jawab Nasya yang duduk di kursi belakang.
“Yaudah aku nemenin Nasya aja di mobil,” sambung Ambar.
“Oke, tunggu bentar ya, ga akan lama kok.” Jovan mengambil hp dan dompetnya yang ia taruh di dasboard mobil lalu lelaki jangkung itu keluar dari mobilnya.
Suasana di dalam mobil mendadak menjadi sangat sepi, hanya ada suara dari radio mobil yang memutarkan salah satu lagu penyanyi lokal Indonesia. Baik Nasya maupun Ambar sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Tadi jadi ke rumah Kala?” tanya Ambar sambil memutar duduknya ke arah belakang, menghadap Nasya.
“Jadi, Kak,” jawab Nasya. Suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Hari ini Nasya memang terlihat jauh lebih pendiam. Sejak tadi mereka bertiga makan malam, Nasya yang biasanya selalu ceria dan banyak bicara setiap kali Ambar bertemu dengannya, kali ini hanya bicara jika Ambar atau Jovan bertanya.
“Are you okay?” tanya Ambar lagi.
“I don't know.” Nasya mengedikkan bahunya.
“Aku pindah duduk kebalakang ya?” tanya Ambar lagi.
Nasya menganggukan kepala dan mengeser duduknya.
Beberapa saat kemudia Ambar turun dari mobil dan pintu di sebelah kiri Nasya terbuka, Ambar segera masuk kembali ke dalam mobil dan duduk di sebelah Nasya.
“Tadi ngapain aja di rumah Kala?”
“Bantuin packing sedikit, karena masih ada beberapa barang dia yang belum diberesin, makan pizza yang dipesenin ayahnya Kala, terus ngobrol-ngobrol deh.” Nasya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi mobil.
Ada diam beberapa saat, Ambar mengalihkan pandangannya ke arah Nasya. Mata anak perempuan itu masih terlihat sedikit sembab.
“Perpisahan emang rasanya ga pernah enak, ya? perpisahan dalam bentuk apapun.” Ambar ikut menyenderkan punggungnya.
“Aku kira harusnya aku udah terbiasa sama perasaan ini, perasaan ditinggalin, tapi ternyata engga. Tetep kerasa sedihnya.” Ambar mengalihkan pandangannya ke arah Nasya ketika anak perempuan itu berhenti bicara.
Apa yang barusan Nasya katakan, rasanya benar-benar membuat Ambar tersadar kalo anak perempuan yang ada di sebelahnya ini menyimpan banyak luka yang selalu berusaha ia tutupi. Hatinya tiba-tiba terasa sakit luar biasa mendengar Nasya mengatakan itu semua, tapi dengan nada suara yang datar—seolah ia memang harus bisa dan biasa menelan semua rasa sakit itu sendirian.
“Kak Ambar kok nangis?” Nasya menegakan duduknya, ia berbalik menghadap Ambar yang ada di sebelah kirinya.
“Nasya, can I hug you?” bukanya menjawab, Ambar malah balik bertanya.
Nasya merentangkan kedua tangannya dan langsung disambut oleh Ambar, Nasya menaruh dagunya di pundak Ambar.
Rasanya, hangat. Satu kata yang sebenarnya menjelaskan banyak sekali perasaan yang selama ini Nasya butuhkan.
Perasaan yang tidak bisa ia dapatkan hanya dari papinya. Bukan, bukan karena papinya tidak mengusahakan itu, tapi karena memang harus sosok lain yang memberikan perasaan ini untuk Nasya. Sosok lain yang berbeda dari cara papinya menyayanginya selama ini.
Dan tanpa mereka berdua sadari, ada Jovan yang berdiri berjarak beberapa mobil dari sana, jarak yang cukup untuk lelaki itu dapat melihat bagaimana Nasya—putri semata wayangnya memeluk Ambar yang juga balas memeluk Nasya. Tangan Ambar yang mengusap lembut punggung kurus Nasya dan kepala Nasya yang bersandar di pundak Ambar.
Jovan melihat semua itu.