***
Suara langkah kaki terburu-buru terdengar bersamaan dengan bel rumah yang telah berbunyi untuk ketiga kalinya. Nasya, anak perempuan yang masih menggunakan seragam sekolahnya itu berjalan menelusuri lorong yang menyambungkan ruang TV dan ruang tamu yang berada di bagian paling depan rumahnya.
“Permisi, paket,” kata seorang yang tenga berdiri di depan pintu kayu tinggi berwarna coklat. Berselang beberapa detik, pintu kayu itu terbuka tepat ketika ia sekali lagi akan memencet bel rumah yang berada di sisi kiri pintu.
“Paket atas nama Jovan Gerardi, benar ini alamatnya?” tanya lelaki paruh baya yang terlihat membawa satu kotak ukuran sedang di tangannya.
“Oh iya benar pak,” jawab Nasya.
“Maaf penerimanya atas nama siapa? untuk saya tulis di data penerima.”
“Atas nama Nasya Gerardi,” kata Nasya sambil menerima kotak berwarna coklat itu.
“Baik, terimakasih mba.” Pamit bapak pengirim paket setelah mengisi beberapa data lewat telepon genggamnya.
“Terimakasih juga pak,” seru Nasya yang dibalas anggukan serta senyum ramah dari bapak pengirim paket.
Setelah memastikan bapak pengirim paket pergi dan telah menutup pagar, Nasya kembali masuk setelah mengunci kembali pintu rumahnya. Kotak bewarna coklat yang beratnya tidak seberapa itu masih ada di genggamannya. Dari data yang tertulis bagian atas kotak, hanya tertulis data penerima yaitu nama papinya dan juga alamat rumah mereka. Sama sekali tidak ada nama pengirim yang seharusnya tertulis di bawah nama penerima. Setau Nasya, sih, begitu.
Nasya berjalan kearah meja kecil yang berada di ujung lorong—bersebelahan dengan rak sepatu. Di atas meja berbentuk kotak itu terlihat masih ada beberapa bungkus paket yang masih belum dibuka, mungkin ada sekitar 6 atau 7 kotak dengan ukuran yang hampir sama. Tentu saja semua paket itu bukan miliki Nasya, karena Nasya termasuk ke dalam kumpulan orang yang selalu tidak sabar jika paket pesanannya datang dan ia tentu saja akan membukanya saat itu juga. Berbanding terbalik dengan papinya yang malah terkadang lupa pernah memesan barang-barang melalui e-commerce yang membuat paketnya malah tertumpuk seperti sekarang.
Setelah menaruh kotak paket tadi di atas tumpukan paket lainnya, Nasya kembali berjalan ke arah ruang TV tempat kedua temannya—Lula dan Kala— tengah duduk di atas karpet sambil memainkan hp-nya masing-masing.
“Siapa Sya?” tanya Lula yang kini atensinya beralih pada Nasya yang duduk di sampingnya.
“Tukang paket,” jawab Nasya.
“Gila itu paket di deket rak sepatu udah segunung gitu,”
“Iya itu semuanya punya papi, palingan juga peralatan sepedah. Dia suka lupa kalo belanja di online gitu. inget-inget nanti kalo udah butuh banget barangnya,” jelas Nasya sambil membuka satu bungkus wafer coklat yang barusan mereka beli dari minimarket sepulang dari sekolah.
“Oh om Jovan suka sepedahan, Sya?” tanya Kala yang ternyata dari tadi menyimak obrolan dua teman perempuannya itu.
“Iya, kadang kalo weekend suka sepedahan sama temen-temennya. ,” jawaban Nasya yang dibalas anggukan kedua temannya sebagai respon.
“Yaudah ayo lanjut belajar ipa-nya guys!” seru Kala yang terlihat kembali semangat membuka buku paket bertuliskan 'Ilmu Pengetahuan Alam SMP Kelas VII' yang tentu saja dibalas helaan napas lelah Nasya dan Lula.