***

Nasya benci gelap. Menurutnya, gelap itu membuat napasnya menjadi sesak, gelap itu membuat kepalanya pening, gelap itu membuat telingnya berdengung kencang, dan Nasya benci semua itu.

Tapi, entah kenapa untuk saat ini diselimuti kegelapaan membuat semuanya terasa lebih baik. Duduk di tepi kasur dengan lampu kamar yang belum ia nyalakan dan hanya cahaya dari jendela kamar yang ia buka sedikit menjadi satu-satu penerangan di kamar ini.

Nasya sendiri sebenarnya tidak yakin apa kalimat lebih baik adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaanya saat ini. Karena jika bisa jujur, sebenarnya Nasya tidak merasakan apa-apa. ia mati rasa.


Biasanya, Jovan tidak perlu mengetuk sampai tiga kali untuk membuat pintu kayu berwarna hitam itu terbuka, tapi kali ini hitunganya berhenti di angka lima ketika akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk berjalan menjauh dari pintu kamar anak perempuannya itu.

Jangan tanya soal rasa khawatir yang membuat jantungnya terasa berdetak jauh lebih cepat dari seharusnya. Karena Jovan berani bersumpah rasanya ia tidak bisa berpikir dengan kepala dingin sejak perjalana pulang tadi. Rasanya ada perih di dada Jovan, seakan satu foto yang Nasya kirim tadi adalah air garam yang kembali menyiram lukanya.

Tinggal satu langkah lagi yang tersisa bagi Jovan untuk menginjakan kakinya di anak tangga ketika suara pintu kamar yang dibuka secara perlahan terdengar dari belakang punggungnya.

“Pi.” Nasya berdiri di ambang pintu kamarnya.

I'm okay, you don't have to worry about me.

Bahu Jovan terasa jauh lebih ringan ketika ia melihat masih ada senyum tipis di wajah Nasya, lelaki kelahiran februari itu menganggukan kepalanya—meng-iyakan pinta putri semata wangnya.

Papi tau kamu ga baik-baik aja, Nasya. Tolong, jadi anak yang kuat, ya?