***

Bangku kayu di taman sekolah biasanya penuh ditempati siswa-siswa yang tengah menunggu jemputan mereka datang, dan Nasya adalah salah satunya. Tapi, kali ini bangku panjang itu hanya ditempati Nasya seorang.

Terik matahari sore yang membuat pandangan sedikit silau membuat Nasya bergeser sedikit dari posisi duduknya. Separuh dari bagian kursi ini memang sedikit tertutup oleh dedaunan dari pohon yang tepat berada di belakang bangku, membuat seakan daun-daun itu menjadi payung yang melindungi siapapun yang duduk dibangku ini.

Pesan dari pak Aryo—supir yang biasa menjemput Nasya, muncul di layar hp-nya, pesan itu berisi permintaan maaf dari pak Aryo karena ia akan datang sedikit terlambat, “ban mobil-nya pecah, non.” Begitu isi pesannya yang langsung Nasya balas dengan jawaban yang menandakan jika ia tidak masalah jika dijemput terlambat.

Sejujurnya, Nasya juga ingin lebih lama berada di sekolah, atau dimanapun selain rumah. Alasannya cukup masuk akal untuk seseorang seperti Nasya yang hanya tinggal berdua dengan papinya, iya, betul, karena suasana rumah yang sepi.

Jika kalian pikir Nasya sedang mengeluh, kalian salah besar. Karena Nasya telah berjanji pada dirinya sendiri sejak beberapa tahun lalu untuk tidak akan lagi mengeluh tentang keadaan rumahnya, keadaan orang tuanya—tentang ia yang hanya hidup berdua dengan papi, dan tentang rasa kesepian yang harus ia rasakan sedari kecil.

Jika dikatakan dengen bahasa yang lebih jujur, Nasya dan kesepian telah menjadi satu kesatuan yang mungkin tidak bisa dipisahkan.

Tapi, bukan berarti Papi Jovan yang bertanggung jawab atas rasa kesepian putrinya itu. Tidak, Papi malah satu-satunya alasan kenapa Nasya bisa tetap merasa dicintai di dunia ini.

Oke, pembahasan tentang Nasya dan rasa kesepiannya kita stop disini dulu. Untuk kali ini mari fokus pada sosok jangkung yang tengah berjalan mendekat ke arah Nasya. Lelaki dengan rambut kecoklatan, mata sipit, dan hidung super mancung yang sejujurnya telah berusaha Nasya hindari sejak pagi tadi. Iya, dia adalah Kala.

Tubuh jangkung itu kini telah berdiri di depan Nasya, menghalang sinar matahari yang sedari tadi sedikit menyilaukan mata gadis berambut panjang itu.

“Tumben belom pulang?” Suara Kala terdengar seringan angin yang berhembus di taman ini.

“Belom dijemput.” Nasya mengalihkan pandangan kemana saja, asal bukan mata coklat milik Kala.

“Mau ditemenin nunggu engga?”

“Gak usah.”

“Nasya, aku beneran minta maaf.”

Nasya berdiri dari duduknya, ia menarik napasnya perlahan, aroma parfume Kala yang sudah Nasya hapal betul entah kenapa kali ini terasa menyesakan dadanya.

“I only have 2 weeks, Nasya. Please?” Kalimat itu lagi. Kalimat yang sama dengan apa yang Kala katakan kemarin.

“Karena itu, karena cuman sisa 2 minggu. Kenapa sih Kal?” Nasya memberanikan diri mengangkat pandangannya, menatap Kala yang berdiri di hadapannya.

“Aku baru berani bilang sekarang ke kamu, ke Lula.” Suara Kala terdengar sedikit bergetar.

“Rasa takut kamu itu yang bikin aku sama Lula kecewa, Kala.” Dengan itu, Nasya pergi meninggalkan Kala. Meninggalkan Kala sama seperti kemarin. Tapi bedanya kali ini ada semakin banyak rasa sesal di hati anak lelaki jangkung itu.