***

Harusnya macet jalanan kota Bandung tidak lagi membuat Ambar dan Nasya merasa kesal karena mereka berdua telah menghabiskan seumur hidupnya tinggal di kota kembang ini. Tapi, berpuluh-puluh kendaraan roda empat maupun roda dua yang memenuhi jalan Ir. Juanda ini membuat kedua perempuan itu berkali-kali menghembuskan napas karena sudah hampir 15 menit mobil yang Ambar kendarai hanya diam di posisi yang sama.

“mampir mcd dulu aja ya? sambil nunggu macetnya berkurang.” Ambar yang duduk di balik kemudi perlahan menginjak pedal gas ketika mobil di depannya maju perlahan.

“Iya, aku pengen beli minuman dingin juga deh kayanya,” kata setuju dari Nasya membuat Ambar akhirnya membelokan mobil ke arah kiri dimana restauran siap saji yang mereka tuju memang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mobil mereka dari tadi terjebak macet.

Setelah memesan beberapa makanan, minuman, dan tentu saja ice cream yang merupakan suatu kewajiban bagi keduanya ketika mengunjungi restauran cepat saji ini, Ambar memarkirkan mobilnya di lahan parkir yang disediakan. Mereka berdua memutuskan untuk makan di dalam mobil karena keduanya terlalu malas untuk mencari meja yang kosong.

Dua sampah kertas pembungkus burger, dua cup lemon tea yang masih tersisa setengahnya menjadi teman Ambar dan Nasya di dalam mobil jazz putih ini selain suara lagu dari radio mobil yang mengalun pelan.

“Kak.” Panggil Nasya, memecahkan keheningan yang ada di antara mereka berdua.

“hmmm?” Ambar mengalihkan pandangannya ke arah Nasya yang duduk di sebelahnya.

“Papi cerita ga kalo mami ngechat aku?”

Ada diam beberapa saat sebelum Ambar menganggukan kepalanya, arah pandangnya masih belum berubah—ia masih melihat ke arah Nasya yang saat ini menundukan pandangannya.

“Mami ngajak aku ketemu.”

Lagi-lagi bukan jawaban yang Nasya dapatkan, tapi tangannya yang terasa dingin tiba-tiba digenggam oleh tangan Ambar yang terasa jauh lebih hangat.

Tangan Ambar masih mengusap lembut tangan Nasya yang ukurannya jauh lebih kecil itu. “Kamu udah jawab ajakannya?”

Nasya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, “Aku bingung harus jawab apa.”

“Aku juga belum kasih tau papi—” Nasya menghembuskan napasnya, “—Papi bakal marah gak ya kak kalo aku kasih tau mami mau ketemu sama aku?” Nasya mengalihkan pandangannya ke arah Ambar, seakan benar-benar mencari jawaban dari pertanyaannya.

“Kamu itu orang yang paling papi sayang di dunia ini, Nasya. Justru kalo kamu gak kasih tau papi kamu tentang ini, dia bakalan sedih banget.” Ambar kembali mengusap lembut tangan Nasya yang masih ada di genggamannya.