Malik tahu betul jalanan kota Bandung akan jadi 10 kali lebih padat di akhir pekan, apalagi di sabtu malam seperti sekarang. Tapi kali ini, terjebak di dalam mobil untuk waktu yang cukup lama terasa lebih sesak dari biasanya. Bukan, bukan karena jumlah manusia yang ada di dalam mobilnya, tapi karena 'siapa' orang yang berada di dalam mobil bersama Malik saat ini.

“Kantor lu emang sering meeting ngedadak weekend gini ya, Lik?”

“Engga sih, ini karena ada client yang minta revisian ngedadak aja. Jadi mau gak mau harus dikerjain saat itu juga.” Jawaban Malik barusan sepertinya dirasa cukup oleh satu orang yang duduk di kursi belakang.

“Lu kok tumben nggak malem mingguan sama Aheng?” Tanya Malik.

“Bosen ah ketemu Aheng terus.” Jawab Alisa.

“Malem minggu ini giliran gue nemenin Nadine sama Ojil, biar mereka ga terus-terusan disangka orang lagi pacaran.” Lanjut Alisa yang berhasil membuat orang yang duduk di kursi penumpang sebelah Malik sedikit merenggut.

Iya, dua orang yang ada di dalam mobil Malik dan juga sama-sama terjebak di macetnya jalanan kota Bandung dengannya saat ini adalah Alisa dan Nadine. Jangan tanya Malik bagaimana bisa ia berada di situasi ini. Semuanya tentu saja karena hal yang Malik keluhkan sejak kembalinya ia ke kota kembang ini. Bandung tuh sempit banget.

Kurang lebih 1 setengah jam yang lalu, Malik, Kemal dan juga Nika yang memutuskan untuk menghabiskan sabtu malam mereka di salah satu cafe di daerah tengah kota Bandung setelah seharian berkutat dengan dokumen dan juga meeting yang membuat hari libur mereka terasa seperti neraka, dan seperti yang Malik bilang tadi—Bandung tuh sempit banget, Nika yang duduk di samping Malik tiba-tiba melambaikan tangannya sambil memanggil nama yang terdengar tidak asing di telinga Malik, “Kak Nadine!”

Iya, ternyata itu Nadine, seorang Nadine Shabrina yang tengah berdiri di depan kasir, terlihat sedang memesan minuman dengan dua orang lain yang juga Malik kenal— Alisa dan Ojil.

Sapaan Nika barusan berujung membuat Nadine, Alisa dan juga Ojil bergabung duduk di meja yang ditempati Malik, Nika dan juga Kemal. Dari penjelasan singkat Nika yang ia ceritakan dengan suaranya yang kelewat ceria, ternyata Nika dan Nadine adalah saudara sepupu.

Rasanya waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, segelas kopi yang Malik pesan sudah habis dari 10 menit lalu, tapi teman-temannya ini masih terlihat asik menggobrol, apalagi Nika dan Ojil yang terlihat langsung akrab di pertemuan pertama mereka ini. Alisa dan Kemal juga beberapa kali menanggapi obrolan Nika dan Ojil, sedangkan sosok yang duduk tepat di hadapan Malik, dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai itu terlihat beberapa kali mengecek layar ponselnya, seakan ia ingin segera pergi dari tempat ini— dan sejujurnya Malik juga melakukan hal yang sama.

“Gue kayanya harus cabut sekarang deh, nyokap gue minta jemput.” Kata Ojil setelah terlihat membaca sesuatu di layar ponselnya.

“Terus kita balik sama siapa kalo lu jemput nyokap lu?” Tanya Alisa yang duduk tepat di samping Ojil

“Minta jemput cowo lu aja.” Balas Ojil sambil memasukan barang-barangnya kedalam kantung celana.

“Ih Aheng lagi ga bisa jemput,”

“Ka Alisa emang rumahnya dimana?” Tanya Nika.

“Di dago.”

“Yaudah bareng Mas Malik aja, searah kan ya Mas?” Nika melirik Malik.

“Iya, boleh ayo bareng gue aja.”

“Bareng Nadine juga berarti ya, searah juga soalnya.” Kali ini Alisa melirik Nadine.

Nadine yang tengah meminum es kopi susunya mendadak tersedak, “Aduh, Nad, pelan-pelan kenapa” Ojil menepuk pelan punggung Nadine.

“Lu nggak dijemput kan?” Tanya Alisa.

“Engga.”

“Gapapa kan, Lik, kita berdua nebeng?” Tanya Alisa, memastikan.

“Gapapa, lah.” Jawab Malik, matanya melirik ke arah Nadine yang ternyata tengah melihat ke arahnya juga. Mata mereka bertemu beberapa detik sebelum Nadine yang lebih dulu memutuskan pandangan dan melihat ke arah lain.

“Yaudah yuk cabut sekarang aja, biar ga kemalem.” Ajakan Malik langsung disetujui yang lainnya.

Dan disini lah Malik sekarang. Di dalam mobilnya, terjabak macetnya jalanan kota Bandung, dengan Alisa yang duduk di kursi belakang, dan Nadine yang duduk tepat di sebelah Malik.

“Malem minggu ini giliran gue nemenin Nadine sama Ojil, biar mereka ga terus-terusan disangka orang lagi pacaran.”

Jawaban Alisa barusan membuat Malik melirik ke arah perempuan yang ada di sebelahnya. Dari arah pandangnya, bisa Malik lihat raut wajah Nadine yang mendecak kesal.

“Komplek rumah lu tuh yang sebelum dago asri kan ya?” Tanya Malik sambil menginjak pedal gas mobilnya karena saat ini mereka telah terbebas dari kemacetan, jalan di depan mereka terlihat sedikit merenggang.

“Iya, patokannya Alfamart aja, pinggirnya banget.” Jawab Alisa.

“Kalo komplek Nadine naik ke atas lagi.” Lanjut Alisa.

“Gue nanti ikut turun di rumah Alisa aja.” Nadine yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya.

“Gue anterin sampe rumah aja.” Kata Malik. “Nanggung gue udah disini juga. Lagian gue nggak lagi buru-buru, kok.”

Nadine melirik ke arah Malik, lelaki yang tengah fokus melihat ke arah depan itu membuat Nadine hanya bisa melihat sisi wajah sebelah kirinya. Malik yang merasa tengah diperhatikan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan.

“Kabarin Ayah lu aja dulu, Nad. Biar nggak kaget kalo nanti liat lu dianter cowok.” Kata Alisa sambil sedikit tertawa.

Oh, shit. Batin dua orang yang secara tiba-tiba terduduk tegak di tempatnya masing-masing.