***

“Lah terus itu cabang Surabaya siapa yang pegang?” Tama duduk di sofa hitam yang berada di tengah ruangan kerja Jovan.

“Ya di handle dulu sama orang yang disana, nunggu dari cabang Jakarta yang di pindah paling semingguan lagi.” Jovan melonggarkan sedikit dasi yang terasa mencekik lehernya.

“Ga lama banget ternyata, gue kira harus nunggu sebulan lebih.”

“Makanya ga gue ambil, soalnya ga gitu urgent.”

“Iyalah, lu udah enak di Bandung ngapain juga pindah-pindah lagi.”

Jovan mengangguk setuju. “Kasian juga si Nasya harus ikut, pindah sekolah juga. ribet lah.”

“Kalo pindah ke Surabaya, kasian juga ya di Bandung masa iya ditinggalin.” Tama menaikan turun kan alisnya.

“Sialan lu!” seru Jovan.

Sebenarnya pekerjaan Jovan telah selesai dari 30 menit yag lalu. Tepat ketika meeting terakhirnya untuk hari ini selesai, Tama memberi kabar jika ia baru saja mengurus beberapa pekerjaan di salah satu gedung yang tepat berada di sebrang kantor Jovan, itulah alasan mengapa saat ini Tama ada di dalam ruangan kerjanya.

“Eh lupa gue belom nawarin minum, mau apa Tam? kopi?” tanya Jovan.

“Ga usah, gue ga akan lama juga. Lu juga udah mau balik kan?”

“Bentar lagi kayanya, si Nasya juga udah nyampe rumah ternyata,” jawab Jovan setelah membalas pesan dari putri semata wayangnya itu.

“Langsung balik lu, jangan ngayab dulu. kasian anak lu sendirian di rumah.”

“Ck ngayab kemana sih gue.”

Handphone Jovan yang baru saja ia taruh beberapa detik lalu di atas meja kembali berbunyi, tanda ada pesan masuk.

“Kenapa lu?” tanya Tama ketika ia melihat raut muka Jovan yang langsung berubah ketika lelaki itu melihat layar handphone-nya.

“Ilariya.” Satu nama yang keluar dari bibir Jovan berhasil membuat Tama ikut membeku di tempatnya.