***

Sejak masa sekolah dasar, Nasya bukan tipe anak yang mudah berteman atau akrab dengan orang baru. Nasya cenderung menjadi anak yang tertutup, lebih banyak diam, dan bicara hanya jika ditanya. Alasannya? karena Nasya merasa ia berbeda dengan teman-temannya yang lain.

Nasya masih ingat ketika ia masih duduk di kelas 2 sekolah dasar, hari itu tempat tangga 22 Desember—yang menurut Nasya hari itu sama dengan hari-hari biasanya, tidak ada yang spesial. Tapi, pada hari itu, guru Nasya yang bernama Miss Sifa, mengatakan kalo hari ini semua siswa harus membuat kartu ucapan yang akan mereka hias seindah mungkin. Nasya yang kebingungan kartu ucapan ini harus ia berikan ke siapa dan dalam rangka apa, bertanya pada salah satu teman yang tepat duduk di sampingnya.

“Kartu ucapannya buat siapa? Emang hari ini ada yang ulang tahun ya?”

“Bukan buat ulang tahun, ini kartu ucapan buat hari ibu. Jadi nanti kamu kasih ke ibu kamu, Nasya,” jawab anak perempuan dengan rambut yang diikat dua itu.

Disaat itu juga Nasya makin bingung. Hari ibu? memangnya di dunia ini ada yang namanya hari ibu?

Nasya kecil yang makin kebingunan itu akhirnya memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja Miss Sifa yang ada di depan kelas.

“Miss, kata Hani kartu ucapan ini bukan untuk ulang tahun ya? tapi untuk hari ibu?” tanya Nasya.

“Iya Nasya, betul. Karena hari ini adalah hari ibu, jadi kita bikin kartu ucapan yang paling indah, ya?” Miss Sifa menjawab dengan senyum lembut di wajahnya.

“Tapi miss, gimana caranya Nasya kasih kartu ucapan ini ke Mami?” tanya Nasya lagi.

“Nanti Nasya kasih kalo sudah sampe rumah.”

“Tapi, Mami Nasya ga ada di rumah—” Anak itu terdiam beberapa saat.

“Kalo Nasya bikin untuk Papi aja, boleh gak miss?” lanjut Nasya.

Disaat itu juga, raut wajah Miss Sifa terlihat berbeda dari sebelumnya. Nasya kecil mungkin masih belum paham arti dari perubahan raut wajah perempuan dewasa di depannya itu.

Dengan usapan lembut di tangannya yang mungil, Miss Sifa kembali tersenyum pada anak perempuan dengan mata indah itu. “Boleh, Nasya boleh buat surat ucapannya untuk papi. Di hias yang indah ya, supaya papi Nasya senang waktu terima kartu ucapannya.”

Sejak saat itu, Nasya kecil mulai sadar kalo ia berbeda dari teman-temannya yang lain. Bukan hanya perihal menghias surat ucapan, sih, tapi Nasya mulai sadar jika hampir semua temannya selalu dijemput oleh mami mereka yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Sedangkan Nasya, tentu saja papi Jovan dengan setelan kantornya tidak pernah sekalipun absen melakukan hal yang sama.


“Sya? kamu dengerin aku ngomong gak sih?” Lula melambaikan tangannya di depan wajah Nasya.

Nasya yang baru tersadar dari lamunanya terkejut dengan pertanyaan temannya itu. “Eh sorry, gimana gimana tadi?”

“Aku ngeri kamu kesambet, Sya.” Kala menggelengkan kepalanya sambil menaruh tiga gelas berisi air putih dingin di atas meja.

“Se-sedih itu ya aku tinggal ke UK? sampe ngelamun gitu,” lanjut Kala yang tentu saja langsung membuat Nasya memutarkan matanya dan Lula yang menghadiahi pukulan bantal di pundak anak lelaki itu.

“Tapi beneran sedih, sih.” Kali ini Lula berkata sambil memajukan bibir bawahnya.

“Kalian kan udah biasa temenan berdua dari jaman TK? jadi kalo aku tinggal ya harusnya gapapa dong?” kata Kala sambil mengedikkan bahunya.

“Ih ya tetep aja sedih dong, udah biasa bertiga dari awal masuk SMP terus sekarang tiba-tiba jadi harus berdua lagi.” Perkataan Nasya langsung di setujui Lula.

“Aaaaa sedih banget kan, beneran sedih nih!” Tangis Lula tiba-tiba pecah, anak perempuan dengan rambut panjang itu kini benar-benar menangis sambil memeluk bantal sofa rumah Kala.

“Lulaaaa! kamu jangan nangis, aku jadi pengen nangis juga!” Nasya bangkit dari duduknya dan segera memeluk Lula.

“Ini kalian berdua seriusan nangisin aku?” dan pertanyaan Kala dijawab dengan suara tangis yang lebih kencang dari sebelumnya.