glittersdreams

“Lex,” panggil Akil begitu mobil keluar dari halaman parkir kantor.

“Ya?”

“Mau langsung pulang atau mau cabut kemana dulu gak?” tanya Akil.

“Bebas sih,”

“Lo gak ada acara apa-apa abis ini?” tanya Akil lagi.

“Gak ada kok.”

Akil diam beberapa saat, ia mengetukan jarinya yang berada di atas setir, nampak sedikit ragu dengan entah apapun yang akan ia katakan selanjutnya. Lexi yang saat ini atensinya masih terfokus pada lelaki di sampingnya itu menyadari kegugupan Akil yang terlihat sangat jelas itu.

“Kenapa emangnya, Kil?” tanya Lexi.

Akil mengusap tengkuknya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananya masih berada di atas setir mobil. “Temenin gue ke PVJ bentar mau gak?” tanya Akil sambil mengalihkan pandangannya ke arah Lexi yang duduk di sebelahnya.

“Ayo,” jawaban serta anggukan Lexi berhasil membuat senyuman muncul di wajah tampan itu.

“Bentar doang kok, temen gue mau ngembaliin barang. Gak apa-apa kan ketemu temen gue?”

“Yaa gak apa-apa lah. Asal temen lo ga gigit aja,” jawaban asal Lexi berhasil membuat Akil tertawa.

“Lo kok ketawa sih, Kil. Garing banget padahal?!” Lexi membalikan badannya ke arah Akil.

“Ya itu, karena garing banget jadi gue ketawa.”

“Sialannnn!” Kali ini suara tawa keduanya memenuhi seisi mobil mercy Akil. Mengalahkan lantunan suara Lauv yang terdengar dari speaker mobil.


Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama—karena jarak kantor dan mall yang meraka tuju tidak terlalu jauh— akhinya keduanya sampai dan memutuskan untuk mendatangi salah satu coffe shop di mall tersebut sebagai tujuan pertama dan segera duduk di salah satu meja bulat yang masih kosong. Akil mengeluarkan hpnya yang berada di saku celana jins yang ia pakai, terlihat mengetik sesuatu di sana.

“Lex, mau pesen apa?” tanya Akil. Ia menaruh hpnya di atas meja, bersamaan dengan kunci mobil.

“Green tea latte aja,” jawab Lexi

“Oke.” Akil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kasir, memesan minuman untuk mereka berdua.

“Tumben gak gitu rame, biasanya agak susah dapet meja kosong,” kata Lexi sekembalinya Akil dari memesan minuman.

“Iya, ya. Biasanya penuh sama yang laptopan.”

“Heeh.”

“Temen gue agak ngaret dikit, kena macet daerah cihampelas katanya,” kata Akil setelah membaca pesan yang baru masuk di notifikasi hpnya.

Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Lexi yang memang duduk menghadap pintu masuk melihat seorang lelaki dengan tubuh jangkung dan muka blasteran Indonesia-Jepang—yang terlihat sangat jelas— berjalan menghampiri meja yang ditempati mereka berdua.

“Kil! Sorry banget nunggu lama gak?” Kedua lelaki itu berjabat tangan.

“Engga, nyantai lah—”

“—Bang, kenalin ini Lexi, Lex ini Bang Yoshi temen kerja gue.” Lexi bangkit dari duduknya dan membalas jabatan tangan Yoshi.

“Yoshi,”

“Lexi.” Lelaki jangkuk itu tersenyum yang membuat kerut di kedua pipinya muncul—seperti kucing.

“Duduk Bang, pesen minum gak lo?” tanya Akil ketika Yoshi menarik kursi yang berada di sebelahnya.

“Ntaran aja lah, gampang,” jawab Yoshi.

“Gimana project Bali kemarin? lancar nih gue liat-liat?” Yoshi menyisir rambut hitam sebahunya dengan jari tangan.

“Lancar sih Bang, ngambil di beberapa spot doang. Agak ribet karena pake model jadi biasalah molor dikit,”

“Wah, ngamuk tuh si Jefri kalo ada disana.” Yoshi menggelengkan kepalanya.

“Lexi kemarin join ke Bali juga?” tanya Yoshi.

Lexi yang agak kaget dengan pertanyaan mendadak ini seketika melirik bingung kearah Akil yang ada di depannya.

“E-eh engga,” jawabnya sambil tersenyum sedikit canggung.

“Lah, bukan bang. Ini mah temen gue.” Akil melirik Lexi dengan senyum di bibirnya yang entah kenapa secara tiba-tiba membuat jantung Lexi berdetak lebih cepat dari pada seharusnya.

“Eh aduh sorry, gue kiraaa.” Yoshi mengusap tengkuknya, merasa sedikit malu karena ke sok tahuannya ini yang dibalas senyuman maklum oleh Lexi.

Kedua lelaki itu tengah asik mengobrol tentang photography yang Lexi yakini bahwa Yoshi juga berkeja di bidang sama dengan Akil. Namun Lexi sama sekali tidak merasa bahwa ia left out dari obrolan dua orang ini, karena baik Akil maupun Yoshi tetap mengajak Lexi untuk bisa ikut dalam pembicaraan mereka. Terlebih lagi Akil yang setiap beberapa saat sekali melihat kearah Lexi dan masih dengan senyuman yang lagi-lagi membuat jantung Lexi entah berdetak tidak karuan.

“Gue cabut duluan ya, ada perlu lagi nih abis ini.” Yoshi memasukan hpnya yang sedari tadi berada di atas meja kedalam saku celana jinsnya.

“Thanks banget ya, Kil, udah minjemin lensanya. Doain gue dah cepet kebeli jadi kaga minjem punya lu terus.” Akil tertawa sambil menepuk pundak Yoshi.

“Nyantai lah, lu kaya ke siapa aja, bang.”

“Lexi, pamit duluan ya, ketemu lagi nanti!”

“Iya, siap!” jawab Lexi sambil mengaacungkan jempolnya.

“Oke deh, pamit ya gue!” Akil dan Yoshi berpelukan singkat, saling menepuk punggung masing-masing.

“Mau pulang sekarang?” tanya Akil setelah keduanya duduk di kursi masing-masing.

“Lo udah gak ada yang mau dicari atau dibeli?” tanya balik Lexi.

“Engga, sih. Lo?”

“Engga juga.”

“Yaudah, pulang aja yuk?”

“Yukk!”

#45

“Eyy! Apa kabar lu?” Sambut Rama saat Akil baru saja masuk kedalam ruang kerjanya.

“Baik gue, lo gimana?” tanya Akil sambil membalas jabatan tangan Rama dan memeluk singkat sahabatnya itu.

“Ya gini-gini aja gue mah, gawe tiap hari kaga ada libur.” Rama kembali duduk di kursinya yang berada di balik meja kerja.

“Gas terus ye Ram,” kata Akil.

“Iya lah, sampe kebeli unit apartment selain yang ukuran studio,” balas Rama sambil tertawa, diikuti Akil yang juga sama-sama memperlihatkan senyum di wajah tampannya.

“Nih oleh-oleh buat lu, dikit sih.” Akil meyodorkan paper bag berwarna coklat.

“Wah, makasih banget loh, terharu gue.” Akting Rama yang membuat Akil memutar matanya.

“Tumben lu nyamperin gue ke kantor?” tanya Rama.

“Iya, gue janjian sama Lexi. Dia ada meeting bentar katanya disini jadi yaudah sekalian aja.”

“Ye anjing itu mah berarti lu kesini mau nyamperin Lexi niatnya!” seru Rama yang membuat Akil tersenyum sambil sedikit menundukan kepalanya—tertangkap basah rupanya.

“Ya gitu lah Ram, gimana sih lu kaya ga ngerti aja.” Akil menusap tengkuknya.

Rama tertawa melihat tingkah sahabatnya satu ini. “Paham lah gua—”

“—gak maksud kepo nih gue tapi agak pengen tau aja. Udah sampe mana lu sama di Lexi?”

“Baru jalan sekali Ram, itu juga makan doang daerah apartnya.”

“Yah cepet lah itu, lu juga baru keitungnya kenal sama dia.”

“Iya, gak cepet-cepet juga sih gue,” kata Akil yang dibalas anggukan setuju oleh Rama.

“Iya, pelan-pelan aja bro. Pelan-pelan tapi pasti.”

“Pasti apaan tuh?” tanya Akil.

“Pasti kaga kemana-mana,” balas Rama yang lagi-lagi membuat kedua lelaki itu tertawa bersamaan.

#36

Dua porsi bebek goreng beserta nasi hangat dan juga es teh manis pesanan Akil dan Lexi akhirnya datang. Mereka berdua memutuskan untuk memakan makanan mereka di dalam mobil. Alasannya tentu saja karena semua tempat duduk telah terisi penuh. Sebenarnya ini hal biasa yang sering terjadi di warung bebek goreng Ali yang merupakan salah satu restaurant bebek paling enak di kota Bandung.

“Gila udah selama itu ga makan bebek Ali,” kata Lexi sambil mencubit daging bebek goreng bagian paha yang ada di piringnya.

“Padahal deket banget dari apart lo, Lex,” balas Akil sambil menaruh dua cup es teh manis ke cup holder.

“Iya, tapi kalo pesen lewat aplikasi pasti lama banget nunggunya,”

“Iya sih, liat deh yang ngantri sepanjang itu,” tunjuk Akil pada antrian khusus pembelian online. Memang terlihat banyak sekali bapak-bapak yang menggunakan jaket berwarna hijau tengah menunggu pesanan konsumen mereka.

“Lex, ini beneran gue ga ganggu lo lagi ngerjain apa gitu? takutnya tadi lo lagi kerja terus jadi harus nemenin gue makan,” lanjut Akil

“Engga, gue lagi nyantai kok dari tadi,”

“by the way kok kol gorengnya gak dimakan?” tanya Akil saat melihat kol goreng yang masih utuh di piring Lexi.

“Gak suka, lo juga ko ga dimakan?”

“Gak suka juga,” jawab Akil

“Serius?”

“Iya,”

“Akhirnya gue nemenuin orang yang gak suka kol goreng juga,”

“Soalnya hampir semua orang suka, gak sih?”

“heem, lo kenapa gak suka?” tanya Lexi

“Terlalu berminyak terus rasanya agak pait kalo kata gue.” Akil mengerutkan keningnya.

“IYAKAN?! SAMA!” balas Lexi teramat antusias yang membuat Akil tidak bisa menahan senyumnya.

#35

Lexi segera mengambil kardigan rajut yang ia gantung di balik pintu kamar ketika pesan dari Akil yang mengatakan bahwa lelaki itu telah sampai di lobby apartemen. Kurang dari 5 menit kemudian, Lexi akhirnya sampai di Loby yang berada di lantai 1. Ruangan itu tidak terlalu luas, terdapat beberapa sofa di sudut ruangan dan juga meja resepsionis tempat seorang satpam dengan seragam dan topi khasnya duduk disana. Lexi berjalan dari arah pintu yang berada di samping kiri meja resepsionis dan sedikit membungkukan kepalnya, memberi salam pada bapak satpam yang ia ketahui bernama Pak Yadi.

“Mba Lexi, itu ada tamu yang nungguin mba,” kata pak Yadi

“Oh iya pak, Makasih ya.” Lexi memberi senyum sebagai ucapan terimakasih.

Dari tempatnya saat ini, Lexi dapat melihat sosok Akil yang tengah terduduk disalah satu sofa, lelaki itu terlihat sedang fokus dengan handphone yang ada di genggamannya.

“Hai!” Lexi menepuk pundah Akil yang membuat lelaki itu mengalihkan atensinya dari layar handphone kepada Lexi yang saat ini tengah berdiri di sampingnya.

“Eh, hai Lex!”

“Lo baru banget balik?” Lexi berjalan ke arah sofa yang berada di depan Akil, lalu perempuan berambut panjang itu mendudukan diri disana.

“Iya, nih mau nganterin oleh-oleh. Gak banyak sih Lex, tapi semoga lo suka.” Akil mengusap tengkuknya.

“Makasih banget loh, ngerepotin segala sampe dibawain oleh-oleh.”

“Engga lah, ngrepotin apaan,” jawab Akil.

“Eh lo bener-bener baru nyampe langsung kesini apa gimana?” tanya Lexi lagi.

“Iya, keliatan banget ya?”

“Ya, lumayan sih, keliatan muka lu masih muka-muka turun dari pesawat.” Lexi tersenyum yang kemudian membuat lesung di kedua pipi Akil terlihat jelas, lelaki itu juga ikut tersenyum.

“Lex?”

“Ya?”

“Lo udah makan belom?”

“Makan siang? udah sih ini kan udah jam 3 sore.” Lexi melihat jam yang ada di handphonenya.

“Jangan bilang lo belom makan?” tanya Lexi sambil mengerutkan keningnya.

“E-eh iya sih, tadi ga sempet makan sebelum balik.”

“Astaga, makan sih, gila lo jam segini belom makan. Mau gue temenin?”

“Lo ga pa-pa temenin gue makan?”

“ya ga pa-pa lah, mau makan apa?”

Akil diam beberepa saat, ia berusa mengingat tempat makan apa yang tidak terlalu jauh dari lokasi apartemen Lexi ini, “Bebek Ali aja, gimana?”

“Boleh, eh gue naro ini dulu deh ya, sambil bawa dompet.” Lexi mengangkat totebag coklat berisi oleh-oleh yang Akil bawa.

“Oke.”

Suara pintu mobil yang terkunci menjadi satu-satunya suara yang terdengar di area parkir salah satu cafe yang berada di daerah dago atas. Selain itu, cahaya dari beberapa lampu yang berada di ujung lahan parkir menjadi satu-satunya alat penerang yang dapat membantu Lexi untuk setidaknya bisa melihat jalanan yang saat ini tengah ia pijak. Jarak antara tempat parkir dan cafe yang menjadi tempat rutin Lexi dan beberapa temannya berkumpul itu sebenarnya tidak terlalu jauh, namun dengan penerangan yang sangat minim dan juga suasana yang sangat sepi, membuat Lexi merasa jarak yang harus ia tempuh dengan berjalan kaki ini 10x lipat lebih jauh dari jarak yang sebenarnya.

Hembusan angin malam kota Bandung juga bukan main dinginnya, Lexi yang saat ini menggunakan celana jins dan juga outher lengan panjang tetap bisa merasakan tusukan dingin dari angin malam. Dengan perpaduan antara gelap, sepi, dan juga dingin, maka tidak ada satupun alasan yang bisa membuat Lexi memperlambat langkahnya untuk segera sampai ke gedung cafe yang sudah bisa ia lihat dari tempatnya saat ini.

Ketika akhirnya tinggal tersisa beberapa langkah lagi sampa Lexi bisa benar-benar masuk kedala bangunan cafe, terdengar suara yang cukup asing memanggil namanya dari arah belakang.

“Lexi?” kata suara itu lagi, tapi kali ini suaranya terdengar lebih dekat daripada sebelumnya.

“Eh, hai!” Lexi dengan spontan melambaikan tangannya ketika melihat siapa pemiliki suara itu.

“Kebetulan banget ketemu disini, sendirian?” tanya orang itu

“Engga kok, udah janjian sama temen. Akil sendirian?” ya, orang itu adalah Akil. Lelaki yang baru Lexi kenal satu minggu lalu dan baru bertemu dua kali dan saat ini berubah menjadi tiga kali.

“Engga, janjian sama temen juga,” jawab Akil

Setelah itu mereka berdua segera masuk kedalam cafe karena dingin dari angin malam yang membuat dua orang itu menggertakan gigi.

Suasa cafe yang jauh dari kata sepi langsung menyambut Akil dan Lexi yang masih berdiri bersisian, keduanya tengah mencari teman janjian mereka masing-masing yang belum terlihat batang hidungnya. Suara musik dari panggung kecil yang berada di ujung cafe dan juga suara tawa dan dari banyak pengunjung membuat suasa cafe semakin ramai. Lexi mengarahkan pandagannya ke sebelah kanan cafe tempat beberapa orang terlihat tengah menikmati makanan atau hanya sekedar berbincang dengan temannya. Disalah satu meja yang berada di ujung kanan akhirnya Lexi menemukan Gita dan beberapa temannya yang lain tengah mengobrol seru.

“Temen-temen gue ada disebelah sana, Gue duluan ya?” Lexi mendekatkan bibirnya ke telingan Akil agar suaranya dapat terdengar oleh lelaki itu.

“Eh bareng aja, temen gue juga duduk sebelah sana,” jawab Akil

“Hah? apa? ga kedengeran!” Suara tepuk tangan dari beberapa pengunjung yang dimaksud untuk salah satu band indie yang baru saja menyelesaikan lagunya membuat suara Akil sama sekali tidak terdengar di telingan Lexi.

Tanpa kembali memastikan apa yang barusan Akil katakan, Lexi langsung berjalan kearah meja yang ditempati Gita dan teman-temannya.

“Git.” Lexi menepuk bahu Gita yang saat ini tengah duduk membelakanginya.

“Eh sampe juga lo!” Gita berdiri dan memberikan pelukan singkat pada sahabatnya itu.

“Eh bro! Akhirnya dateng juga!” kali ini Rama yang berdiri dari duduknya. Tapi sebentar, apa barusan yang Rama katakan? Bro? sejak kapan Rama memanggil Lexi dengan sebutan 'bro'?

Lexi langsung membalikan badannya dan melihat Akil yang saat ini tengah berdiri di belakangnya, lelaki itu baru saya melakukan fist bump dengan Rama.

“Kok bisa dateng barengan lu berdua?” tanya Rama

“Iya tadi ketemu di depan,” jawab Lexi.

“Yang, bosen mami liat kamu kerjaanya duduk depan laptop terus.” kata Lily sambil menaruh segelas kopi panas di atas meja.

“Ya gimana emang kerjaan aku di laptop semua.” jawab Lexi yang matanya tetap fokus pada layar laptop di depannya.

“Biarin lah anaknya lagi kerja di komentarin aja terus kamu tuh.” kali ini Ruby—papi Lexy— turut ikut dalam percakapan istri dan anaknya itu.

“Ya maksudnya mami kamu main kek gitu kemana, jalan-jalan keliling komplek sambil beli sayuran tuh di warung Bu RT.”

“Males ah nanti aku ditanya-tanya atau gak diajak gossip sama ibu-ibu.”

“Paling juga ditanya kapan nikah,” kata Ruby sambil menyeruput kopi yang barusan dibawa istrinya.

“Ya itu makanya aku males.”

“Cepet-cepet cari pacar makanya, biar kalo ditanya gitu bisa jawab.”

“Mami kira cari pacar segampang nyari tukang batagor?” Lexi menggelengkan kepalanya.

“Papi kenalin sama anaknya temen papi aja mau gak kamu?”

“Engga ah apaan, kaya semenyedihkan itu aku sampe dijodoh-jodohin kaya gitu.”

Ruby tertawa sambil mengusap kepala anak semata wayangnya, “Yaudah iya cari sendiri aja deh, asal jangan lama-lama aja Lex. udah tua nih kita berdua.”

“Iya, mami kan mau jadi nenek sebelum keriput, biar bisa di panggil Necan.”

“Apaan tuh necan?” tanya Lexi dan Ruby hampir berbarengan

“Nenek Cantik.” Jawaban Lily itu mampu membuat anak dan suaminya saling pandang satu sama lain dan akhirnya menggelengkan kepala secara bersamaan.

Hari ini sesuai janji, Akil dan Lexi kembali bertemu di Jardin—cafe yang sama dengan tempat kemarin mereka bertemu. Lexi yang datang lebih dulu memutuskan untuk memilih meja yang berada dekat pintu masuk—berbeda dengan meja tempatnya kemarin dan Akil bertemu, karena ia pikir hari ini pertemuan mereka berdua tidak akan lama, Lexi akan mengembalikan charger milik Akil dan ia akan langsung pulang.

Setelah menunggu sekitar 10 menit, akhirnya Akil datang dengan setelan kasualnya yang hampir mirip dengan kemarin—kaos putih polos dan celana jins berwarna hitam. Dari tempatnya saat ini berdiri, Akil dapat langsung melihat Lexi yang tengah duduk menghadap ke arahnya. Perempuan dengan rambut panjang itu melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Akil, yang tentu saja langsung dibalas Akil dengan senyuman juga. Entah kenapa rasanya mereka berdua bukan orang asing yang baru bertemu satu kali.

“Sorry ya, nunggu lama ga?” tanya Akil sambil menarik salah satu kursi yang ada di hadapan Lexi.

“Engga kok, mas Akil.”

“Eh jangan pake mas dong, berasa tuanya nih,” Akil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Eh? apa dong ya manggilnya?” Lexi mengerutkan alisnya.

“Panggil nama aja kali ya?” jawab Akil

“Mba Lexi manggil Rama apa?”

“Manggil nama aja sih,”

“Nah yaudah, manggil saya pake nama aja juga.”

“Yaudah kalo gitu, jangan manggil saya pake mba juga, ya?”

“okedeh, Lexi.” Akil dan Lexi menganggukan kepala bersamaan, tidak lupa juga dengan kedua bibir mereka yang sama-sama menyunggingkan senyuman.

Lexi dan Akil masih sama-sama duduk di kuris masing-masing. Keduanya masih memegang handphone yang sama-sama masih menampilkan room chat merek berdua.

“Ya ampun, Sorry ya Mas Akil...”

“Saya yang sorry. Padahal Mba Lexi Whatsappnya pake foto profile tapi saya ga ngeuh.” Jawab Akil yang saat ini mengubah posisi duduknya, menghadap Lexi yang berada di sebelah kirinya.

Keduanya kembali diam, Lexi yang memang sangat payah perihal basa-basi dengan orang baru. Sedangkan di sisi lain Akil juga terlihat sama canggungnya.

“Mas Akil ini temen kuliahnya Rama, ya?” tanya Lexi, berusaha mencari topik pembicaraan yang entah terdengar terlalu kepo atau aneh. Pokonya ia tidak mau suasana canggung ini terus berlanjut.

“Bukan, saya temen SMA-nya Rama.” jawab Akil yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Lexi.

“Kalo Mba Lexi?” tanya Akil.

“Saya? saya kenapa?” tanya Lexi sambil menunjuk dirinya sendiri

Akil menyungingkan senyum dibibirnya yang menyebabkan mata sipitnya jadi berubah bentuk menyerupai bulan sabit, “Mba Lexi kenal Rama dari mana?”

“ohh—” Lexi tertawa canggung, merasa bodoh dengan pertanyaannya barusan,

”—kenal Rama karena dikenalin temen beberapa taun lalu. Terus suka main barengnya juga, dan sekarang diajak kerja bareng.” Jawab Lexi.


Akil sudah pergi beberapa menit yang lalu, setelah Lexi menandatangani Novel yang lelaki itu bawa dan juga menulis sedikit pesan untuk adik perempuan Akil yang katanya sedang berulang tahun.

Kepergian Akil membuat Lexi kembali duduk sendirian lagi. Perempuan itu kembali memainka handphonenya, membuka beberapa media sosial untuk membuang waktu selama menunggu Gita— sahabatnya yang masih belum kunjung datang. Di pesan terakhir yang Gita kirim, katanya ia akan segera memberi kabar jika sudah selesai menemani mamanya membeli tanaman di salah satu pasar tanaman terkenal di Kota Bandung. Mungkin jika jalanan tidak terlalu macet, Gita bisa sampai dari 15 menit yang lalu. Tapi karena hari ini adalah hari sabtu, tentu jalanan Kota Bandung menjadi lebih padat dari pada hari biasanya. Jadi, mau tidak mau Lexi harus sabar menunggu sedikit lebih lama.

Tepat ketika jam di handphone Lexi menunjukan pukul 15.55, Gita datang dengan muka yang terlihat kusut, rambut coklat panjangnya ia ikat asal-asalan yang membuat beberapa helai rambut terjatuh dikedua sisi wajahnya.

“Demi tuhan, Bandung kenapa macet banget! Berasa nyetir di Jakarta tau gak!” Gita mendudukan badannya di kursi yang berada di depan Lexi.

“Namanya juga weekend, sore lagi. Gue udah melempem tau ga nungguin lo!”

“Sorry,” Gita melengkungkan bibirnya kebawah.

“Tadi lo jadi kan ketemuan?” Tanya Gita

“Jadi kok. Bentar doang sih, ga nyampe 20 menit.” jawab Lexi sambil mengaduk es kopi yang tinggal tersisa setengahnya.

“Bentar amat?” Gita mengerutkan keningnya, heran.

“Cuman minta tanda tangan buat buku, terus ngobrol basa-basi dikit. Abis itu orangnya langsung cabut.” jelas Lexi yang dibalas Gita dengan anggukan kepala sambil ber'oh' ria.

Setelahnya, kedua sahabat itu kembali melanjutkan obrolan mereka. Mulai dari curhatan Gita, gossip tentang artis lokal sampai artis luar negri yang saat ini tengah naik daun, hingga tanpa mereka sadari, matahari mulai meninggalkan langit Kota Bandung dan memberikan tempatnya untuk bulan. Memberi bulan kesempatan untuk menyinarkan cahayanya di langit malam yang gelap itu.

Waktu telah menunjukan pukul 2 lebih 50 menit ketika Lexi, untuk kesekian kalinya mengecek layar handphone yang saat ini tengah berada diatas meja berwarna coklat— serasi dengan warna bangku dan dekorasi cafe lainnya, sebenarnya Lexi masih mempunyai waktu 10 menit lagi sebelum janji temunya dengan seseorang, tetapi yang membuat Lexi sedikit panik yaitu baterai handphonenya yang tinggal tersisa 7%. Ini semua bisa terjadi karena keteledorannya yang telah ia lakukan berulang kali—selalu saja ada barang yang tertinggal—yang telah menjadi kebiasaannya sejak dulu, ya, kebiasaan yang amat sangat buruk.

Suasana cafe saat ini tidak terlalu ramai, total hanya ada 5 meja yang terisi, salah satunya meja yang saat ini Lexi tempati—berada tepat di pojok cafe, bersebelahan langsung dengan jendela yang mengarah pada halaman belakang cafe yang ditumbuhi banyak tanaman hijau. Tiga pengunjung lain menempati meja yang lebih depan, dekat dengan pintu masuk, sedangkan satu pengunjung lagi berada tepat di sebelah kanan meja yang Lexi tempati.

Orang yang menempati meja disamping Lexi terlihat sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya, Lexi mengalihkan pandangannya pada Handphone lelaki itu yang ditaruh di samping laptopnya. Dari tempatnya duduk, dapat Lexi lihat bahwa ia menggunakan Handphone dengan merk yang sama dengan Handphone yang Lexi gunakan, tanpa pikir panjang, Lexi bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri orang itu.

“Halo, mas, sorry ganggu,” sosok lelaki dengan rambut hitam itu mengalihkan pandangannya dari layar laptop menuju Lexi yang saat ini berdiri di sampingnya,

“Mas bawa charger handphone gak ya? ini handphone saya lowbat banget, terus saya kelupaan bawa charger.” Lanjut Lexi

“Oh, ada, sebentar,” lelaki dengan alis tebal itu mengeluarkan charger handphone berwarna putih dari dalam tasnya.

“Pinjem bentar, ya, mas. Makasih banget.”

“Iya.”