glittersdreams

***

Bangku kayu di taman sekolah biasanya penuh ditempati siswa-siswa yang tengah menunggu jemputan mereka datang, dan Nasya adalah salah satunya. Tapi, kali ini bangku panjang itu hanya ditempati Nasya seorang.

Terik matahari sore yang membuat pandangan sedikit silau membuat Nasya bergeser sedikit dari posisi duduknya. Separuh dari bagian kursi ini memang sedikit tertutup oleh dedaunan dari pohon yang tepat berada di belakang bangku, membuat seakan daun-daun itu menjadi payung yang melindungi siapapun yang duduk dibangku ini.

Pesan dari pak Aryo—supir yang biasa menjemput Nasya, muncul di layar hp-nya, pesan itu berisi permintaan maaf dari pak Aryo karena ia akan datang sedikit terlambat, “ban mobil-nya pecah, non.” Begitu isi pesannya yang langsung Nasya balas dengan jawaban yang menandakan jika ia tidak masalah jika dijemput terlambat.

Sejujurnya, Nasya juga ingin lebih lama berada di sekolah, atau dimanapun selain rumah. Alasannya cukup masuk akal untuk seseorang seperti Nasya yang hanya tinggal berdua dengan papinya, iya, betul, karena suasana rumah yang sepi.

Jika kalian pikir Nasya sedang mengeluh, kalian salah besar. Karena Nasya telah berjanji pada dirinya sendiri sejak beberapa tahun lalu untuk tidak akan lagi mengeluh tentang keadaan rumahnya, keadaan orang tuanya—tentang ia yang hanya hidup berdua dengan papi, dan tentang rasa kesepian yang harus ia rasakan sedari kecil.

Jika dikatakan dengen bahasa yang lebih jujur, Nasya dan kesepian telah menjadi satu kesatuan yang mungkin tidak bisa dipisahkan.

Tapi, bukan berarti Papi Jovan yang bertanggung jawab atas rasa kesepian putrinya itu. Tidak, Papi malah satu-satunya alasan kenapa Nasya bisa tetap merasa dicintai di dunia ini.

Oke, pembahasan tentang Nasya dan rasa kesepiannya kita stop disini dulu. Untuk kali ini mari fokus pada sosok jangkung yang tengah berjalan mendekat ke arah Nasya. Lelaki dengan rambut kecoklatan, mata sipit, dan hidung super mancung yang sejujurnya telah berusaha Nasya hindari sejak pagi tadi. Iya, dia adalah Kala.

Tubuh jangkung itu kini telah berdiri di depan Nasya, menghalang sinar matahari yang sedari tadi sedikit menyilaukan mata gadis berambut panjang itu.

“Tumben belom pulang?” Suara Kala terdengar seringan angin yang berhembus di taman ini.

“Belom dijemput.” Nasya mengalihkan pandangan kemana saja, asal bukan mata coklat milik Kala.

“Mau ditemenin nunggu engga?”

“Gak usah.”

“Nasya, aku beneran minta maaf.”

Nasya berdiri dari duduknya, ia menarik napasnya perlahan, aroma parfume Kala yang sudah Nasya hapal betul entah kenapa kali ini terasa menyesakan dadanya.

“I only have 2 weeks, Nasya. Please?” Kalimat itu lagi. Kalimat yang sama dengan apa yang Kala katakan kemarin.

“Karena itu, karena cuman sisa 2 minggu. Kenapa sih Kal?” Nasya memberanikan diri mengangkat pandangannya, menatap Kala yang berdiri di hadapannya.

“Aku baru berani bilang sekarang ke kamu, ke Lula.” Suara Kala terdengar sedikit bergetar.

“Rasa takut kamu itu yang bikin aku sama Lula kecewa, Kala.” Dengan itu, Nasya pergi meninggalkan Kala. Meninggalkan Kala sama seperti kemarin. Tapi bedanya kali ini ada semakin banyak rasa sesal di hati anak lelaki jangkung itu.

***

Malam ini udang saus mentega, cumi saus padang dan hidangan seafood lainnya yang ada di atas meja terasa sama persis seperti malama-malam lainnya ketika Nasya dan Papinya datang ke tempat makan ini. Tapi, kehadiran satu orang yang baru Nasya kenal 30 menit lalu berhasil membuat suasana di meja nomor 5 ini menjadi jauh berbeda. Bukan, bukan dalam konotasi yang negatif, tapi malah sebaliknya.

Cantik dan harum. Adalah impression pertama Nasya pada perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Ambar. Kak Ambar—begitu Nasya putuskan untuk memanggilnya dan langsung disetujui, bukanlah perempuan pertama yang dikenalkan Papinya. Tapi bukan berarti Papinya itu hobi gonta-ganti cewek. Sempat sekali papinya itu mengenalkan teman perempuannya pada Nasya, mungkin sekitar 3 tahun lalu. Tapi ternyata itu adalah pertemuan pertama dan terakhir Nasya dengan teman papinya itu. Jadi Nasya pastikan kalo hubungan papi dan teman perempuanya telah kandas di tengah jalan.

Saat itu Nasya yang masih duduk di bangku sekolah dasar masih belum paham kenapa papinya mengenalkan sosok perempuan asing yang harus Nasya panggil 'tante' tapi semakin berjalannya waktu Nasya mulai paham kalo mungkin sosok itu awalnya bisa saja menjadi calon 'ibu baru' buat Nasya. Tapi, setelah kejadian 3 tahun lalu itu, Papi sama sekali tidak pernah mengenalkan lagi sosok 'teman perempuan'-nya.

Dan malam ini, sosok Ambar yang tengah tertawa mendengar lelucon yang keluar dari Jovan entah kenapa membuat hati Nasya rasanya menghangat.

Selain tawa, malam ini juga ada banyak cerita dari ketiga orang yang duduk di meja nomer 5 ini. Cerita tentang Nasya yang tugas seni rupanya berhasil mendapat nilai paling besar di kelas, tentang Jovan yang baru membeli satu set perlengkapan bersepedah, atau cerita tentang gaun pertama yang Ambar buat saat masih duduk di bangku SMA dulu.

Mungkin terlalu awal bagi Nasya untuk berharap jika malam seperti ini—yang ia habiskan bukan hanya dengan papinya tapi juga ada Ambar di dalamnya, akan terus terjadi entah sampai kapan. Tapi untuk kali ini saja, Nasya memohon pada tuhan jika memang kebahagiaan ini bisa berlangsung lama, ia ingin minta semua itu.

***

Ini bukan pertama kalinya Ambar menginjakan kaki di sekolah dengan gedung empat tingkat berwarna putih-biru dengan lapangan berukuran cukup besar di depannya itu. Tapi perbedaannya terletak pada siapa orang yang membuat ia datang ke sekolah ini. 1 bulan lalu Ambar datang kesini dengan tujuan untuk menghadiri rapat sebagai wali dari sepupunya—Lula, karena Zefanya—ibu Lula, berhalangan untuk hadir. Tapi hari ini, Ambar datang bukan untuk menemui Lula, tapi perempuan dengan rambut coklat itu datang karena secara kebetulan ia baru selesai pergi makan siang bersama Jovan—yang mungkin kini telah menjadi rutinitas mereka berdua— dan anak Jovan yang jatuh sakit dan tentu saja membuat lelaki dengan tinggi 182 cm itu panik dan tanpa pikir panjang langsung menjalankan mobilnya ke arah sekolah ini.

Suara langkah kaki Jovan dan Ambar terdengar membelah sunyinya lorong sekolah, keduanya melangkah terburu-buru melewati jajaran pintu dan jendela kelas menuju ruang uks yang berada di ujung lorong. Pintu kayu berwarna coklat itu sedikit terbuka ketika akhirnya Jovan dan Ambar sampai di depannya.

“Silahkan masuk pak, Nasya ada di kasur paling ujung.” Seorang perempuan berambut sebahu yang baru saja keluar dari balik pintu UKS itu tersenyum ramah ke arah Jovan dan Ambar.

Jovan menganggukan kepala lalu berjalan memasuki ruangan dengan ukuran tidak terlalu besar itu. Raut wajahnya terlihat sangat serius, masih sama sejak ia menerima pesan dari guru Nasya tadi. Ambar yang berjalan di belakangnya tersenyum sambil menganggukan kepala pada perempuan berambut pendek yang Ambar tebak sebagai guru Nasya yang tadi menghubungi Jovan.

Ada tiga kasur dengan ukuran kecil yang hanya cukup untuk 1 orang berjejer di dalam ruangan UKS ini, masing-masing kasur memiliki tirai putih yang bergantung melingkar—menutupi setiap kasur. Jovan berjalan ke arah tirai berwarna putih yang terletak di paling ujung ruangan, menyibak pelan tirai itu. Dari tempat Ambar berdiri—tepat di belakang Jovan, ia melihat seorang anak perempuan yang mungkin tingginya sama dengan Lula tengah berbaring di atas kasur dengan selimut putih yang menutupi separuh badannya.

Cantik, adalah kata pertama yang melintas dipikiran Ambar ketika ia melihat Nasya, padahal ini bukan pertama kali ia melihat wajah anak perempuan itu—sebelumnya Ambar pernah melihat Nasya lewat beberapa foto yang dikirim Jovan. Kulit wajahnya putih bersih, hidungnya mancung—persis seperti Jovan, matanya yang terpejam membuat bulu matanya terlihat panjang dan lentik, dan bibir tipis berwarna merah muda, sama dengan kedua pipinya.

“Pumpkin...” Jovan duduk di kursi yang berada di samping kiri kasur, tangannya mengusap lembut puncak kepala Nasya.

“Papi?” Nasya membuka matanya, keningnya berkerut, seakan anak perempuan itu tengah menahan rasa sakit.

“Apa yang sakit sayang?” tanya Jovan, terdengar jelas nada cemas dari suaranya.

“Perutku kram banget pi, kepalaku juga sakit banget,” keluh Nasya.

“Kita ke dokter sekarang ya?” Jovan mengusap lembut kening Nasya dengan ibu jarinya.

“Aku mau pulang aja.” Nasya menggelengkan kepalanya.

“Yaudah iya ayo pulang aja.” Balas Jovan.

Ambar yang dari tadi terdiam dan hanya mendengarkan percakapan ayah dan anak perempuanya ini entah kenapa merasa ada perasaan hangat di dadanya. Melihat Jovan yang menatap Nasya dengan pandangan seakan Nasya adalah dunianya dan Nasya yang juga melihat Jovan seakan-akan hanya Jovan lah satu-satunya tempat Nasya berlindung.

***

Suara langkah kaki terburu-buru terdengar bersamaan dengan bel rumah yang telah berbunyi untuk ketiga kalinya. Nasya, anak perempuan yang masih menggunakan seragam sekolahnya itu berjalan menelusuri lorong yang menyambungkan ruang TV dan ruang tamu yang berada di bagian paling depan rumahnya.

“Permisi, paket,” kata seorang yang tenga berdiri di depan pintu kayu tinggi berwarna coklat. Berselang beberapa detik, pintu kayu itu terbuka tepat ketika ia sekali lagi akan memencet bel rumah yang berada di sisi kiri pintu.

“Paket atas nama Jovan Gerardi, benar ini alamatnya?” tanya lelaki paruh baya yang terlihat membawa satu kotak ukuran sedang di tangannya.

“Oh iya benar pak,” jawab Nasya.

“Maaf penerimanya atas nama siapa? untuk saya tulis di data penerima.”

“Atas nama Nasya Gerardi,” kata Nasya sambil menerima kotak berwarna coklat itu.

“Baik, terimakasih mba.” Pamit bapak pengirim paket setelah mengisi beberapa data lewat telepon genggamnya.

“Terimakasih juga pak,” seru Nasya yang dibalas anggukan serta senyum ramah dari bapak pengirim paket.

Setelah memastikan bapak pengirim paket pergi dan telah menutup pagar, Nasya kembali masuk setelah mengunci kembali pintu rumahnya. Kotak bewarna coklat yang beratnya tidak seberapa itu masih ada di genggamannya. Dari data yang tertulis bagian atas kotak, hanya tertulis data penerima yaitu nama papinya dan juga alamat rumah mereka. Sama sekali tidak ada nama pengirim yang seharusnya tertulis di bawah nama penerima. Setau Nasya, sih, begitu.

Nasya berjalan kearah meja kecil yang berada di ujung lorong—bersebelahan dengan rak sepatu. Di atas meja berbentuk kotak itu terlihat masih ada beberapa bungkus paket yang masih belum dibuka, mungkin ada sekitar 6 atau 7 kotak dengan ukuran yang hampir sama. Tentu saja semua paket itu bukan miliki Nasya, karena Nasya termasuk ke dalam kumpulan orang yang selalu tidak sabar jika paket pesanannya datang dan ia tentu saja akan membukanya saat itu juga. Berbanding terbalik dengan papinya yang malah terkadang lupa pernah memesan barang-barang melalui e-commerce yang membuat paketnya malah tertumpuk seperti sekarang.

Setelah menaruh kotak paket tadi di atas tumpukan paket lainnya, Nasya kembali berjalan ke arah ruang TV tempat kedua temannya—Lula dan Kala— tengah duduk di atas karpet sambil memainkan hp-nya masing-masing.

“Siapa Sya?” tanya Lula yang kini atensinya beralih pada Nasya yang duduk di sampingnya.

“Tukang paket,” jawab Nasya.

“Gila itu paket di deket rak sepatu udah segunung gitu,”

“Iya itu semuanya punya papi, palingan juga peralatan sepedah. Dia suka lupa kalo belanja di online gitu. inget-inget nanti kalo udah butuh banget barangnya,” jelas Nasya sambil membuka satu bungkus wafer coklat yang barusan mereka beli dari minimarket sepulang dari sekolah.

“Oh om Jovan suka sepedahan, Sya?” tanya Kala yang ternyata dari tadi menyimak obrolan dua teman perempuannya itu.

“Iya, kadang kalo weekend suka sepedahan sama temen-temennya. ,” jawaban Nasya yang dibalas anggukan kedua temannya sebagai respon.

“Yaudah ayo lanjut belajar ipa-nya guys!” seru Kala yang terlihat kembali semangat membuka buku paket bertuliskan 'Ilmu Pengetahuan Alam SMP Kelas VII' yang tentu saja dibalas helaan napas lelah Nasya dan Lula.

***

Mungkin birthday dinner lebih dianggap suatu hal yang lumrah dilakukan dibandingkan birthday lunch yang saat ini tengah dilakukan Jovan dan Ambar. Mungkin, acara tiup lilin yang ditaruh diatas sepotong kecil kue coklat biasaanya dilakukan di malam hari dengan suasan romantis cafe bintang lima. Tapi, kenapa harus ada kata romantis diantara dua orang yang bisa disebut masih asing, bahkan mereka baru bertemu dua kali.

Pertemuan ketiga antara Jovan dan Ambar yang memang sengaja dilakukan dalam rangka merayakan ulang tahun perempuan yang kini tepat berusia 27 tahun itu. Jangan tanya Ambar kenapa bisa-bisanya dia meng-iyakan ajakan 'perayaan ulang tahun'-nya dengan orang yang baru ia kenal selama 1 minggu.

Mungkin jika dijabarkan, Ambar sebenarnya punya dua alasan kenapa ia yang dianggap teman-temanya termasuk orang yang sulit untuk dekat atau bahkan berkenalan dengan orang asing ini bisa-bisanya duduk berdua di restauran di tengah kota dengan orang yang bahkan alamat rumahnya saja tidak Ambar tahu.

Oke, alasan pertama adalah, karena Jovan itu teman baik Zefa—adik dari ibunya. Jadi bisa Ambar anggap bahwa Jovan adalah orang baik dan bukan penculik.

Alasan kedua atau bisa dikatakan alasan terakhir, karena di kedua pertemuan sebelumnya, entah kenapa obrolan diantara mereka berdua bukan seperti dua orang asing yang baru pertama kali bertemu, semuanya terasa mengalir begitu saja. Apa yang ada di kepala Ambar ternyata sama dengan apa yang Jovan katakan jika mereka sedang membahas sesuatu.

Seperti saat ini, piring keduanya telah sama-sama habis tetapi Ambar masih dengan seru mendengar cerita Jovan tentang salah satu client bisnisnya yang ternyata adalah kaka kelasnya dulu sewaktu SMA, dan malah membuat mereka membahas kenangan masa SMA daripada membahas kerja sama bisnis.

“Emang Bandung tuh se-sempit itu ya ternyata.” Ambar menggelengkan kepalanya menganggapi cerita Jovan barusan.

“Iya, bener banget,” balas Jovan sambil tertawa.

“Now, how about you? gimana kerjaan kamu?” tanya Jovan.

“Hmm... Kerjaanku fine-fine aja sih, cuman lagi lumayan banyak. Aku sama temenku lagi handle 4 client yang semuanya pesen gaun nikahan dengan deadline yang cuman selang beberapa hari,” jawab Ambar.

“Wow, itu kalian handle semuanya berdua doang?” tanya Jovan lagi.

“Untuk design-nya iya, tapi produksi yang kaya jahit, pasang payet segala macem kita hire orang lain,” jawaban Ambar dibalas anggukan paham oleh Jovan.

Obrolan keduanya masih berlanjut sampai tanpa mereka sadari restauran tempat mereka makan siang yang tadinya penuh dengan pengunjung satu-persatu mulai pergi dan hanya menyisakan mereka berdua dan dua meja lainnya yang masih ditempati pengunjung.

Setelah pelayan memberikan bil dan juga kartu milik Jovan yang bersikeras untuk kembali membayar makanan mereka kali ini walaupun Ambar sudah mengatakan bahwa kali ini harus ia yang mebayar. Tapi lagi-lagi Ambar harus mengalah karena Jovan mengatakan bahwa ini adalah kado ulang tahun darinya untuk Ambar.

Keduanya berjalan menuju halaman depan restauran tempat dimana mereka berdua juga memarkirkan mobil masing-masing.

“Once again, Happy Birthday to you, Ambar,” kata Jovan sambil memasukan kedua tangan ke saku celananya.

“Thank you! and thanks juga buat tlaktirannya, lagi.” Ambar menekankan kata 'lagi' yang membuat Jovan tertawa.

“Hati-hati dijalan ya!” kata Jovan setelah Ambar memasuki mobilnya dan dibalas acungan jempol oleh perempuan itu.

“You too!” balas Ambar yang kini telah menyalakan mesin mobil.

“Udah sana masuk mobil!” seru Ambar pada Jovan yang masih berdiri di sisi mobilnya.

“No, kamu berangkat dulu aja,” jawab Jovan sambil mengangkat kedua bahunya.

“oke, oke.” Sebelum Ambar menginjak pedal gas mobilnya, perempuan itu melambaikan tangan ke arah Jovan yang juga melakukan hal yang sama.

“Bye!”

“Bye!”

***

“Ini kita tuh ngerjain tugas 30% terus 70%-nya ketawa tau gak.” Kala menggelengkan kepalanya setalah tawanya reda karena ulah dua teman perempuannya yang saat ini wajahnya terlihat dari layar laptop.

“Aku beneran baru tau loh kalo bisa pake efek-efek kaya gini, lucu banget tadi muka kamu beneran kaya kelinci tau!” kata Nasya susah payah di sela tawanya yang tidak bisa berhenti sejak beberapa menit lalu.

“Udah ah udah ayo lanjut lagi, pegel nih pipi aku ketawa terus.” Lula memegang kedua pipinya yang benar-benar terasa pegal karena terus-terusan tertawa.

“Yaudah ayo! lanjut ya yang poin c.”

“Ini tuh kalian tinggal ambil kesimpulan dari jawaban poin b, nah terus disambungin aja sama jawaban dari artikel yang dikasih,” jelas Kala yang langsung dibalas anggukan paham dari Nasya dan Lula.

“Eh guys, bentar ya!” tiba-tiba Lula menghilang dari layar laptop yang membuat hanya kursi meja belajarnya yang terlihat di layar.

Beberapa detik bersela, terdengar suara obrolan dari microphone laptop Lula yang memang lupa ia mute, Nasya dan Kala jadi sedikit bisa mendengar obrolan temannya itu dengan seseorang di kamarnya.

“Hai guys! maaf ya tadi ada kaka sepupu aku, hehe,” kata Lula yang kini telah kembali terlihat di layar laptop.

“Suaranya cantik banget deh, Lul.” Nasya yang tadi bisa mendengar sedikit suara kakak sepupu Lula itu berkata secara spontan. Karena memang benar, entah kenapa ia merasa suara yang ia dengar tadi sangat cantik. Seperti suara lembut ibu peri.

“Hah emang suara bisa disebut cantik ya?” tanya Kala dengan kening yang berkerut, harusnya ia tidak perlu merasa kaget sih mendengar istilah-istilah aneh yang keluar dari seorang Nasya.

“Bisa, itu tadi suara cantik,” jawab Nasya penuh keyakinan sambil menganggukan kepalanya.

***

Seperti hari-hari biasanya, jam makan siang merupakan salah satu waktu dimana tempat makan akan penuh oleh orang-orang yang datang untuk mengisi perut mereka yang sudah terasa lapar dan juga badan yang butuh untuk diistirahatkan sejenak dari beban pekerjaan yang sudah mereka tanggung dari sejak pagi hari.

Begitu juga dengan seorang perempuan yang duduk di salah satu meja yang tepat berada di samping jendela, menghadap langsung kearah taman di restauran yang berada di pusat kota ini. Perempuan dengan blouse berwarna biru langit dan celana bahan berwarna putih itu terlihat tengah membukan iPad yang menampilkan beberapa dokumen pekerjaannya.

Sebenarnya janji temunya dengan seseorang masih 10 menit lagi, tapi datang lebih cepat beberapa menit bukanlah hal yang salah kan?

Jam di iPad yang tengah ia pegang itu menunjukan pukul 12.25 ketika seorang lelaki jangkung dengan setelan fomal—kemeja dan celana kain— berdiri tepat di hadapannya dengan wangi sitrus yang tercium sangat jelas dari jarak mereka yang hanya terhalang satu meja.

“Ambar? sorry yang nunggu lama ga?” Lelaki itu menjabat tangan Ambar yang kini telah berdiri dari duduknya dan juga mengulurkan tangan untuk membalas jabatan tangan itu.

“Engga kok, santai aja,”

Ambar dan Jovan kini duduk di bangku masing-masing. “Kantor-nya deket dari sini?” tanya Ambar.

“Lumayan, cuman 10 menit pake mobil” Jawab Jovan sambil menggulung bagian tangan kemeja panjangnya yang langsung membuat tampilan lelaki dengan rahang tegas itu berubah menjadi jauh lebih santai.

“by the way, maaf banget ya pak Jovan saya jadi ngerepotin gini,” dapat Jovan dengar jelas ada nada menyesal dari perempuan yang kini duduk di depannya.

“No problem, lagian salah saya juga sama-sama ga inget kalau kamu nitipin suratnya ke saya,” jawab Jovan dengan senyum maklum.

“oh iya, kamu ga panggil saya pake 'pak' juga gapapa, saya kan seumur sama Zefa, jadi ga begitu tua kan ya?”

“Eh? terus panggil apa kalo bukan pa? om?” pertanyaan Ambar berhasil menggundang tawa dari Jovan.

“Ya jangan om juga dong saya kesannya jadi kaya apaan”

“Oh iya oke, oke. mas Jovan. Gimana?”

“sounds better.” Jovan menganggukan kepalanya.

***

“Siang pa Jovan, untuk lunch hari ini mau saya pesankan seperti biasa?” pertanyaan Sarah—sekertaris Jovan—berhasil membuat atensi lelaki dengan kemeja abu-abu itu teralihkan dari tumpuka dokumen yang sedang ia baca.

“Oh, no thanks Sarah, saya mau lunch di luar hari ini. kamu order buat kamu sendiri aja,” jawaban Jovan yang langsung dibalas anggukan paham dari Sarah.

“Baik pa,”

Sekeluarnya Sarah dari ruangan kerjanya, Jovan melirik jam tangan yang ia gunakan di tangan kirinya, ternyata jam sudah menunjukan pukul 12 lebih 5 menit, ia masih punya waktu 25 menit sebelum janji temu dengan orang yang hari ini akan menjadi teman makan siangnya.

Bangkit dari duduknya, Jovan sedikit merenggangkan badan yang sudah terlalu lama duduk dengan posisi sedikit membungkuk untuk membaca tumpukan dokumen yang hingga saat ini masih tersisa lumayan banyak, hal itu membuat leher dan punggu lelaki dengan rambut hitam itu lumayan terasa kaku.

Jovan mengambil gelas kopi yang tinggal tersisa setengah itu, ini adalah gelas kopi keduanya hari ini. Karena bagi Jovan, rasa pahit dari kopi dan tentu saja kandungan kafein-nya adalah satu-satunya yang bisa membuat kedua matanya tetap terjaga dan juga membantu otaknya bekerja lebih ekstra, karena menjabat sebagai salah satu orang yang cukup penting di perusahaan bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Sekali lagi, ia melihat jam tangan di tangan kirinya, Jovan pikir lebih baik ia berangkat saat ini menuju tempat makan dimana ia memiliki janji temu dengan seseorang, walaupun sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dan hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit dari kantornya.

***

Duduk berkumpul di satu meja yang sama dengan gelas kopi dan beberapa puntung rokok yang telah memenuhi asbak kembali membuat keempat lelaki yang sadar kalau saat ini mereka bukan lagi remaja atau mahasiswa usia 20an, mereka bukan lagi mahasiswa yang tengah dilanda pusing akibat skripsi yang tak kunjung selesai atau rapat organisasi yang rasanya tidak pernah habis.

Pertemanan keempatnya dimulai sejak masing-masing dari mereka tergabung pada satu himpunan jurusan mahasiswa yang sama. Tama, Lelaki dengan tinggi 171cm yang membuatnya tetap terlihat awet muda padahal umur 20 tahun telah ia lewati lebih dari 10 tahu lalu. Tama adalah yang paling tua, lalu di susul oleh Jovan. Berbanding terbalik dengan Tama, Jovan memiliki tinggi badan lebih dari 180cm, badan tinggi dan tegap lelaki itu masih sama gagahnya seperti dulu saat ia menjabat sebagai ketua himpunan di jurusan mereka. Lalu orang ketiga yang saat ini duduk persis di hadapan Jovan ialah Bagas. Lelaki jangkung dengan rambut coklat yang ia miliki sejak lahir sering kali membuat beberapa orang percaya bahwa ia memiliki darah campuran, padahal kedua orangtuanya asli orang padang. Dan yang terakhir adalah si bungsu dalam pertemanan ini, namanya Razan. Razan sebenarnya adalah adik tingkat Tama, Jovan, dan Bagas, tetapi karena Razan kerap kali ikut nongkrong dengan Bagas yang merupakan kaka sepupunya, jadilah hingga saat ini ia masih menjadi salah satu orang yang wajib hadir jika mereka akan berkumpul di akhir pekan, sekedar hanya untuk update kehidupan di umur yang bukan lagi remaja ini.

Batang rokok kedua yang baru saja Jovan nyalakan menjadi penutup ceritanya kepada ketiga temannya yang saat ini secara berbarengan sama-sama menghirup nikotin yang segera memenuhi paru-paru mereka. Tama adalah orang pertama yang membuka suaranya, memberikan respon pada cerita Jovan barusan.

“Emang ini pertama kalinya anak lo bahas lagi tentang ibunya?” tanya Tama.

“Seinget gue sih iya.” Jovan mengetuk pelan ujung rokoknya ke sisi asbak.

“Untung dia nanyanya lewat chat, kalo nanya langsung, wah bingung gua harus bereaksi kaya apa,” lanjut Jovan sambil menggelengkan kepalanya.

“Eh tapi serius Jov, anak lo ga pernah nanyain atau bahas ibunya? dari dulu?”

Pertanyaan Razan mengundang satu lagi gelengan pelan dari kepala Jovan. “Engga sih, mungkin karena dia udah kebiasa cuman berdua doang sama gua, dan anaknya juga ga penasaran, jadi ya dia ga pernah nanya.”

Bagas yang sedari tadi masih menjadi penyimak ketiga temannya itu akhirnya membuka suara. “Yang gue penasaran sih Jov, itu cewe yang lo ajak bareng ke sekolahnya Nasya tuh siapa?”

***

Duduk berkumpul di satu meja yang sama dengan gelas kopi dan beberapa puntung rokok yang telah memenuhi asbak kembali membuat keempat lelaki yang sadar kalau saat ini mereka bukan lagi remaja atau mahasiswa usia 20an, mereka bukan lagi mahasiswa yang tengah dilanda pusing akibat skripsi yang tak kunjung selesai atau rapat organisasi yang rasanya tidak pernah habis.

Pertemanan keempatnya dimulai sejak masing-masing dari mereka tergabung pada satu himpunan jurusan mahasiswa yang sama. Tama, Lelaki dengan tinggi 171cm yang membuatnya tetap terlihat awet muda padahal umur 20 tahun telah ia lewati lebih dari 10 tahu lalu. Tama adalah yang paling tua, lalu di susul oleh Jovan. Berbanding terbalik dengan Tama, Jovan memiliki tinggi badan lebih dari 180cm, badan tinggi dan tegap lelaki itu masih sama gagahnya seperti dulu saat ia menjabat sebagai ketua himpunan di jurusan mereka. Lalu orang ketiga yang saat ini duduk persis di hadapan Jovan ialah Bagas. Lelaki jangkung dengan rambut coklat yang ia miliki sejak lahir sering kali membuat beberapa orang percaya bahwa ia memiliki darah campuran, padahal kedua orangtuanya asli orang padang. Dan yang terakhir adalah si bungsu dalam pertemanan ini, namanya Razan. Razan sebenarnya adalah adik tingkat Tama, Jovan, dan Bagas, tetapi karena Razan kerap kali ikut nongkrong dengan Bagas yang merupakan kaka sepupunya, jadilah hingga saat ini ia masih menjadi salah satu orang yang wajib hadir jika mereka akan berkumpul di akhir pekan, sekedar hanya untuk update kehidupan di umur yang bukan lagi remaja ini.

Batang rokok kedua yang baru saja Jovan nyalakan menjadi penutup ceritanya kepada ketiga temannya yang saat ini secara berbarengan sama-sama menghirup nikotin yang segera memenuhi paru-paru mereka. Tama adalah orang pertama yang membuka suaranya, memberikan respon pada cerita Jovan barusan.

“Emang ini pertama kalinya anak lo bahas lagi tentang ibunya?” tanya Tama.

“Seinget gue sih iya.” Jovan mengetuk pelan ujung rokoknya ke sisi asbak.

“Untung dia nanyanya lewat chat, kalo nanya langsung, wah bingung gua harus bereaksi kaya apa,” lanjut Jovan sambil menggelengkan kepalanya.

“Eh tapi serius Jov, anak lo ga pernah nanyain atau bahas ibunya? dari dulu?”

Pertanyaan Razan mengundang satu lagi gelengan pelan dari kepala Jovan. “Engga sih, mungkin karena dia udah kebiasa cuman berdua doang sama gua, dan anaknya juga ga penasaran, jadi ya dia ga pernah nanya.”

Bagas yang sedari tadi masih menjadi penyimak ketiga temannya itu akhirnya membuka suara. “Yang gue penasaran sih Jov, itu cewe yang lo ajak bareng ke sekolahnya Nasya tuh siapa?”