glittersdreams

Malik tahu betul jalanan kota Bandung akan jadi 10 kali lebih padat di akhir pekan, apalagi di sabtu malam seperti sekarang. Tapi kali ini, terjebak di dalam mobil untuk waktu yang cukup lama terasa lebih sesak dari biasanya. Bukan, bukan karena jumlah manusia yang ada di dalam mobilnya, tapi karena 'siapa' orang yang berada di dalam mobil bersama Malik saat ini.

“Kantor lu emang sering meeting ngedadak weekend gini ya, Lik?”

“Engga sih, ini karena ada client yang minta revisian ngedadak aja. Jadi mau gak mau harus dikerjain saat itu juga.” Jawaban Malik barusan sepertinya dirasa cukup oleh satu orang yang duduk di kursi belakang.

“Lu kok tumben nggak malem mingguan sama Aheng?” Tanya Malik.

“Bosen ah ketemu Aheng terus.” Jawab Alisa.

“Malem minggu ini giliran gue nemenin Nadine sama Ojil, biar mereka ga terus-terusan disangka orang lagi pacaran.” Lanjut Alisa yang berhasil membuat orang yang duduk di kursi penumpang sebelah Malik sedikit merenggut.

Iya, dua orang yang ada di dalam mobil Malik dan juga sama-sama terjebak di macetnya jalanan kota Bandung dengannya saat ini adalah Alisa dan Nadine. Jangan tanya Malik bagaimana bisa ia berada di situasi ini. Semuanya tentu saja karena hal yang Malik keluhkan sejak kembalinya ia ke kota kembang ini. Bandung tuh sempit banget.

Kurang lebih 1 setengah jam yang lalu, Malik, Kemal dan juga Nika yang memutuskan untuk menghabiskan sabtu malam mereka di salah satu cafe di daerah tengah kota Bandung setelah seharian berkutat dengan dokumen dan juga meeting yang membuat hari libur mereka terasa seperti neraka, dan seperti yang Malik bilang tadi—Bandung tuh sempit banget, Nika yang duduk di samping Malik tiba-tiba melambaikan tangannya sambil memanggil nama yang terdengar tidak asing di telinga Malik, “Kak Nadine!”

Iya, ternyata itu Nadine, seorang Nadine Shabrina yang tengah berdiri di depan kasir, terlihat sedang memesan minuman dengan dua orang lain yang juga Malik kenal— Alisa dan Ojil.

Sapaan Nika barusan berujung membuat Nadine, Alisa dan juga Ojil bergabung duduk di meja yang ditempati Malik, Nika dan juga Kemal. Dari penjelasan singkat Nika yang ia ceritakan dengan suaranya yang kelewat ceria, ternyata Nika dan Nadine adalah saudara sepupu.

Rasanya waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, segelas kopi yang Malik pesan sudah habis dari 10 menit lalu, tapi teman-temannya ini masih terlihat asik menggobrol, apalagi Nika dan Ojil yang terlihat langsung akrab di pertemuan pertama mereka ini. Alisa dan Kemal juga beberapa kali menanggapi obrolan Nika dan Ojil, sedangkan sosok yang duduk tepat di hadapan Malik, dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai itu terlihat beberapa kali mengecek layar ponselnya, seakan ia ingin segera pergi dari tempat ini— dan sejujurnya Malik juga melakukan hal yang sama.

“Gue kayanya harus cabut sekarang deh, nyokap gue minta jemput.” Kata Ojil setelah terlihat membaca sesuatu di layar ponselnya.

“Terus kita balik sama siapa kalo lu jemput nyokap lu?” Tanya Alisa yang duduk tepat di samping Ojil

“Minta jemput cowo lu aja.” Balas Ojil sambil memasukan barang-barangnya kedalam kantung celana.

“Ih Aheng lagi ga bisa jemput,”

“Ka Alisa emang rumahnya dimana?” Tanya Nika.

“Di dago.”

“Yaudah bareng Mas Malik aja, searah kan ya Mas?” Nika melirik Malik.

“Iya, boleh ayo bareng gue aja.”

“Bareng Nadine juga berarti ya, searah juga soalnya.” Kali ini Alisa melirik Nadine.

Nadine yang tengah meminum es kopi susunya mendadak tersedak, “Aduh, Nad, pelan-pelan kenapa” Ojil menepuk pelan punggung Nadine.

“Lu nggak dijemput kan?” Tanya Alisa.

“Engga.”

“Gapapa kan, Lik, kita berdua nebeng?” Tanya Alisa, memastikan.

“Gapapa, lah.” Jawab Malik, matanya melirik ke arah Nadine yang ternyata tengah melihat ke arahnya juga. Mata mereka bertemu beberapa detik sebelum Nadine yang lebih dulu memutuskan pandangan dan melihat ke arah lain.

“Yaudah yuk cabut sekarang aja, biar ga kemalem.” Ajakan Malik langsung disetujui yang lainnya.

Dan disini lah Malik sekarang. Di dalam mobilnya, terjabak macetnya jalanan kota Bandung, dengan Alisa yang duduk di kursi belakang, dan Nadine yang duduk tepat di sebelah Malik.

“Malem minggu ini giliran gue nemenin Nadine sama Ojil, biar mereka ga terus-terusan disangka orang lagi pacaran.”

Jawaban Alisa barusan membuat Malik melirik ke arah perempuan yang ada di sebelahnya. Dari arah pandangnya, bisa Malik lihat raut wajah Nadine yang mendecak kesal.

“Komplek rumah lu tuh yang sebelum dago asri kan ya?” Tanya Malik sambil menginjak pedal gas mobilnya karena saat ini mereka telah terbebas dari kemacetan, jalan di depan mereka terlihat sedikit merenggang.

“Iya, patokannya Alfamart aja, pinggirnya banget.” Jawab Alisa.

“Kalo komplek Nadine naik ke atas lagi.” Lanjut Alisa.

“Gue nanti ikut turun di rumah Alisa aja.” Nadine yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya.

“Gue anterin sampe rumah aja.” Kata Malik. “Nanggung gue udah disini juga. Lagian gue nggak lagi buru-buru, kok.”

Nadine melirik ke arah Malik, lelaki yang tengah fokus melihat ke arah depan itu membuat Nadine hanya bisa melihat sisi wajah sebelah kirinya. Malik yang merasa tengah diperhatikan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan.

“Kabarin Ayah lu aja dulu, Nad. Biar nggak kaget kalo nanti liat lu dianter cowok.” Kata Alisa sambil sedikit tertawa.

Oh, shit. Batin dua orang yang secara tiba-tiba terduduk tegak di tempatnya masing-masing.

Malik tahu betul jalanan kota Bandung akan jadi 10 kali lebih padat di akhir pekan, apalagi di sabtu malam seperti sekarang. Tapi kali ini, terjebak di dalam mobil untuk waktu yang cukup lama terasa lebih sesak dari biasanya. Bukan, bukan karena jumlah manusia yang ada di dalam mobilnya, tapi karena 'siapa' orang yang berada di dalam mobil bersama Malik saat ini.

“Kantor lu emang sering meeting ngedadak weekend gini ya, Lik?”

“Engga sih, ini karena ada client yang minta revisian ngedadak aja. Jadi mau gak mau harus dikerjain saat itu juga.” Jawaban Malik barusan sepertinya dirasa cukup oleh satu orang yang duduk di kursi belakang.

“Lu kok tumben nggak malem mingguan sama Aheng?” Tanya Malik.

“Bosen ah ketemu Aheng terus.” Jawab Alisa.

“Malem minggu ini giliran gue nemenin Nadine sama Ojil, biar mereka ga terus-terusan disangka orang lagi pacaran.” Lanjut Alisa yang berhasil membuat orang yang duduk di kursi penumpang sebelah Malik sedikit merenggut.

Iya, dua orang yang ada di dalam mobil Malik dan juga sama-sama terjebak di macetnya jalanan kota Bandung dengannya saat ini adalah Alisa dan Nadine. Jangan tanya Malik bagaimana bisa ia berada di situasi ini. Semuanya tentu saja karena hal yang Malik keluhkan sejak kembalinya ia ke kota kembang ini. Bandung tuh sempit banget.

Kurang lebih 1 setengah jam yang lalu, Malik, Kemal dan juga Nika yang memutuskan untuk menghabiskan sabtu malam mereka di salah satu cafe di daerah tengah kota Bandung setelah seharian berkutat dengan dokumen dan juga meeting yang membuat hari libur mereka terasa seperti neraka, dan seperti yang Malik bilang tadi—Bandung tuh sempit banget, Nika yang duduk di samping Malik tiba-tiba melambaikan tangannya sambil memanggil nama yang terdengar tidak asing di telinga Malik, “Kak Nadine!”

Iya, ternyata itu Nadine, seorang Nadine Shabrina yang tengah berdiri di depan kasir, terlihat sedang memesan minuman dengan dua orang lain yang juga Malik kenal— Alisa dan Ojil.

Sapaan Nika barusan berujung membuat Nadine, Alisa dan juga Ojil bergabung duduk di meja yang ditempati Malik, Nika dan juga Kemal. Dari penjelasan singkat Nika yang ia ceritakan dengan suaranya yang kelewat ceria, ternyata Nika dan Nadine adalah saudara sepupu.

Rasanya waktu berjalan lebih lambat dari biasanya, segelas kopi yang Malik pesan sudah habis dari 10 menit lalu, tapi teman-temannya ini masih terlihat asik menggobrol, apalagi Nika dan Ojil yang terlihat langsung akrab di pertemuan pertama mereka ini. Alisa dan Kemal juga beberapa kali menanggapi obrolan Nika dan Ojil, sedangkan sosok yang duduk tepat di hadapan Malik, dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai itu terlihat beberapa kali mengecek layar ponselnya, seakan ia ingin segera pergi dari tempat ini— dan sejujurnya Malik juga melakukan hal yang sama.

“Gue kayanya harus cabut sekarang deh, nyokap gue minta jemput.” Kata Ojil setelah terlihat membaca sesuatu di layar ponselnya.

“Terus kita balik sama siapa kalo lu jemput nyokap lu?” Tanya Alisa yang duduk tepat di samping Ojil

“Minta jemput cowo lu aja.” Balas Ojil sambil memasukan barang-barangnya kedalam kantung celana.

“Ih Aheng lagi ga bisa jemput,”

“Ka Alisa emang rumahnya dimana?” Tanya Nika.

“Di dago.”

“Yaudah bareng Mas Malik aja, searah kan ya Mas?” Nika melirik Malik.

“Iya, boleh ayo bareng gue aja.”

“Bareng Nadine juga berarti ya, searah juga soalnya.” Kali ini Alisa melirik Nadine.

Nadine yang tengah meminum es kopi susunya mendadak tersedak, “Aduh, Nad, pelan-pelan kenapa” Ojil menepuk pelan punggung Nadine.

“Lu nggak dijemput kan?” Tanya Alisa.

“Engga.”

“Gapapa kan, Lik, kita berdua nebeng?” Tanya Alisa, memastikan.

“Gapapa, lah.” Jawab Malik, matanya melirik ke arah Nadine yang ternyata tengah melihat ke arahnya juga. Mata mereka bertemu beberapa detik sebelum Nadine yang lebih dulu memutuskan pandangan dan melihat ke arah lain.

“Yaudah yuk cabut sekarang aja, biar ga kemalem.” Ajakan Malik langsung disetujui yang lainnya.

Dan disini lah Malik sekarang. Di dalam mobilnya, terjabak macetnya jalanan kota Bandung, dengan Alisa yang duduk di kursi belakang, dan Nadine yang duduk tepat di sebelah Malik.

“Malem minggu ini giliran gue nemenin Nadine sama Ojil, biar mereka ga terus-terusan disangka orang lagi pacaran.”

Jawaban Alisa barusan membuat Malik melirik ke arah perempuan yang ada di sebelahnya. Dari arah pandangnya, bisa Malik lihat raut wajah Nadine yang mendecak kesal.

“Komplek rumah lu tuh yang sebelum dago asri kan ya?” Tanya Malik sambil menginjak pedal gas mobilnya karena saat ini mereka telah terbebas dari kemacetan, jalan di depan mereka terlihat sedikit merenggang.

“Iya, patokannya Alfamart aja, pinggirnya banget.” Jawab Alisa.

“Kalo komplek Nadine naik ke atas lagi.” Lanjut Alisa.

“Gue nanti ikut turun di rumah Alisa aja.” Nadine yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya.

“Gue anterin sampe rumah aja.” Kata Malik. “Nanggung gue udah disini juga. Lagian gue nggak lagi buru-buru, kok.”

Nadine melirik ke arah Malik, lelaki yang tengah fokus melihat ke arah depan itu membuat Nadine hanya bisa melihat sisi wajah sebelah kirinya. Malik yang merasa tengah diperhatikan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan.

“Kabarin Ayah lu aja dulu, Nad. Biar nggak kaget kalo nanti liat lu dianter cowok.” Kata Alisa sambil sedikit tertawa.

Oh, shit. Batin dua orang yang secara tiba-tiba terduduk tegak di kursi masing-masing.

***

Harusnya macet jalanan kota Bandung tidak lagi membuat Ambar dan Nasya merasa kesal karena mereka berdua telah menghabiskan seumur hidupnya tinggal di kota kembang ini. Tapi, berpuluh-puluh kendaraan roda empat maupun roda dua yang memenuhi jalan Ir. Juanda ini membuat kedua perempuan itu berkali-kali menghembuskan napas karena sudah hampir 15 menit mobil yang Ambar kendarai hanya diam di posisi yang sama.

“mampir mcd dulu aja ya? sambil nunggu macetnya berkurang.” Ambar yang duduk di balik kemudi perlahan menginjak pedal gas ketika mobil di depannya maju perlahan.

“Iya, aku pengen beli minuman dingin juga deh kayanya,” kata setuju dari Nasya membuat Ambar akhirnya membelokan mobil ke arah kiri dimana restauran siap saji yang mereka tuju memang hanya berjarak beberapa meter dari tempat mobil mereka dari tadi terjebak macet.

Setelah memesan beberapa makanan, minuman, dan tentu saja ice cream yang merupakan suatu kewajiban bagi keduanya ketika mengunjungi restauran cepat saji ini, Ambar memarkirkan mobilnya di lahan parkir yang disediakan. Mereka berdua memutuskan untuk makan di dalam mobil karena keduanya terlalu malas untuk mencari meja yang kosong.

Dua sampah kertas pembungkus burger, dua cup lemon tea yang masih tersisa setengahnya menjadi teman Ambar dan Nasya di dalam mobil jazz putih ini selain suara lagu dari radio mobil yang mengalun pelan.

“Kak.” Panggil Nasya, memecahkan keheningan yang ada di antara mereka berdua.

“hmmm?” Ambar mengalihkan pandangannya ke arah Nasya yang duduk di sebelahnya.

“Papi cerita ga kalo mami ngechat aku?”

Ada diam beberapa saat sebelum Ambar menganggukan kepalanya, arah pandangnya masih belum berubah—ia masih melihat ke arah Nasya yang saat ini menundukan pandangannya.

“Mami ngajak aku ketemu.”

Lagi-lagi bukan jawaban yang Nasya dapatkan, tapi tangannya yang terasa dingin tiba-tiba digenggam oleh tangan Ambar yang terasa jauh lebih hangat.

Tangan Ambar masih mengusap lembut tangan Nasya yang ukurannya jauh lebih kecil itu. “Kamu udah jawab ajakannya?”

Nasya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, “Aku bingung harus jawab apa.”

“Aku juga belum kasih tau papi—” Nasya menghembuskan napasnya, “—Papi bakal marah gak ya kak kalo aku kasih tau mami mau ketemu sama aku?” Nasya mengalihkan pandangannya ke arah Ambar, seakan benar-benar mencari jawaban dari pertanyaannya.

“Kamu itu orang yang paling papi sayang di dunia ini, Nasya. Justru kalo kamu gak kasih tau papi kamu tentang ini, dia bakalan sedih banget.” Ambar kembali mengusap lembut tangan Nasya yang masih ada di genggamannya.

***

“Kamu kenapa? sakit?” Ambar menyentuh kening Jovan dengan telapak tangannya.

Bukan tanpa alasan Ambar tiba-tiba se-khawatir itu, tapi wajah Jovan yang sedikit pucat dan mata yang kelihatan lelah menjadi sambutan pertama yang Ambar dapatkan ketika pintu rumah di depannya terbuka.

Jovan menggeleng dengan senyum yang terlihat ia paksakan hadir di wajahnya. “Engga, aku ga sakit kok.”

“Nasya dimana? makan sekarang aja yuk mumpung bebeknya masih anget.” Ambar membuka plastik putih yang ia taruh di atas meja makan.

“Nasya di kamar.” Jovan duduk di salah satu kursi meja makan. Tangan kirinya yang ada di atas meja ia gunakan untuk memijat pelan keningnya.

Hey, are you okey?” Ambar menghampiri Jovan, ia mengusap lembut bahu Jovan yang masih terbalut kemeja kerjanya.

Jovan menarik Ambar—membuat perempuan itu semakin mendekat ke arahnya. Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Ambar, mendekapnya erat. “Nasya di hubungin lagi sama Mami nya.” ucap Jovan dengan suara yang amat pelan—hampir terdengar seperti bisikan.

Ada hening cukup lama di antara mereka berdua. Jovan yang masih mendekap Ambar semakin erat, dan Ambar yang terus-terusan memberi usapan lembut di punggung dan bahu lelaki itu.

“Aku takut, Ambar.” Jovan kembali bicara dengan suara yang sama pelannya.

“Aku takut Nasya ngerasain sakit lagi.”

***

Nasya benci gelap. Menurutnya, gelap itu membuat napasnya menjadi sesak, gelap itu membuat kepalanya pening, gelap itu membuat telingnya berdengung kencang, dan Nasya benci semua itu.

Tapi, entah kenapa untuk saat ini diselimuti kegelapaan membuat semuanya terasa lebih baik. Duduk di tepi kasur dengan lampu kamar yang belum ia nyalakan dan hanya cahaya dari jendela kamar yang ia buka sedikit menjadi satu-satu penerangan di kamar ini.

Nasya sendiri sebenarnya tidak yakin apa kalimat lebih baik adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaanya saat ini. Karena jika bisa jujur, sebenarnya Nasya tidak merasakan apa-apa. ia mati rasa.


Biasanya, Jovan tidak perlu mengetuk sampai tiga kali untuk membuat pintu kayu berwarna hitam itu terbuka, tapi kali ini hitunganya berhenti di angka lima ketika akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk berjalan menjauh dari pintu kamar anak perempuannya itu.

Jangan tanya soal rasa khawatir yang membuat jantungnya terasa berdetak jauh lebih cepat dari seharusnya. Karena Jovan berani bersumpah rasanya ia tidak bisa berpikir dengan kepala dingin sejak perjalana pulang tadi. Rasanya ada perih di dada Jovan, seakan satu foto yang Nasya kirim tadi adalah air garam yang kembali menyiram lukanya.

Tinggal satu langkah lagi yang tersisa bagi Jovan untuk menginjakan kakinya di anak tangga ketika suara pintu kamar yang dibuka secara perlahan terdengar dari belakang punggungnya.

“Pi.” Nasya berdiri di ambang pintu kamarnya.

I'm okay, you don't have to worry about me.

Bahu Jovan terasa jauh lebih ringan ketika ia melihat masih ada senyum tipis di wajah Nasya, lelaki kelahiran februari itu menganggukan kepalanya—meng-iyakan pinta putri semata wangnya.

Papi tau kamu ga baik-baik aja, Nasya. Tolong, jadi anak yang kuat, ya?

***

“Lah terus itu cabang Surabaya siapa yang pegang?” Tama duduk di sofa hitam yang berada di tengah ruangan kerja Jovan.

“Ya di handle dulu sama orang yang disana, nunggu dari cabang Jakarta yang di pindah paling semingguan lagi.” Jovan melonggarkan sedikit dasi yang terasa mencekik lehernya.

“Ga lama banget ternyata, gue kira harus nunggu sebulan lebih.”

“Makanya ga gue ambil, soalnya ga gitu urgent.”

“Iyalah, lu udah enak di Bandung ngapain juga pindah-pindah lagi.”

Jovan mengangguk setuju. “Kasian juga si Nasya harus ikut, pindah sekolah juga. ribet lah.”

“Kalo pindah ke Surabaya, kasian juga ya di Bandung masa iya ditinggalin.” Tama menaikan turun kan alisnya.

“Sialan lu!” seru Jovan.

Sebenarnya pekerjaan Jovan telah selesai dari 30 menit yag lalu. Tepat ketika meeting terakhirnya untuk hari ini selesai, Tama memberi kabar jika ia baru saja mengurus beberapa pekerjaan di salah satu gedung yang tepat berada di sebrang kantor Jovan, itulah alasan mengapa saat ini Tama ada di dalam ruangan kerjanya.

“Eh lupa gue belom nawarin minum, mau apa Tam? kopi?” tanya Jovan.

“Ga usah, gue ga akan lama juga. Lu juga udah mau balik kan?”

“Bentar lagi kayanya, si Nasya juga udah nyampe rumah ternyata,” jawab Jovan setelah membalas pesan dari putri semata wayangnya itu.

“Langsung balik lu, jangan ngayab dulu. kasian anak lu sendirian di rumah.”

“Ck ngayab kemana sih gue.”

Handphone Jovan yang baru saja ia taruh beberapa detik lalu di atas meja kembali berbunyi, tanda ada pesan masuk.

“Kenapa lu?” tanya Tama ketika ia melihat raut muka Jovan yang langsung berubah ketika lelaki itu melihat layar handphone-nya.

“Ilariya.” Satu nama yang keluar dari bibir Jovan berhasil membuat Tama ikut membeku di tempatnya.

***

Dalam satu minggu hari sekolah, Nasya hanya punya 2 hari dimana ia bisa langsung pulang ke rumah setelah sekolah selesai. Sisa 3 hari lainnya dipenuhi jadwal beberapa les yang harus ia datangi. Salah satunya hari ini, setiap hari rabu Nasya harus mengikuti les matematika di salah satu tempat les terkenal di kota Bandung, beberapa teman sekolah Nasya juga sama-sama mengikuti les di tempat ini, termasuk Lula.

“Sumpah beneran deh, aku ngerasa bunda sama ayah malah buang-buang uang buat masukin aku les disini, masalahnya aku tetep ga ngerti!” Lula menaruh dagunya di atas meja kantin yang tengah mereka berdua tempati. Wajahnya terlihat sangat kusut, ditambah rambut panjangnya yang terlihat berantakan.

“Nih minum dulu deh, biar agak dingin tuh kepala kamu.” Nasya meyodorkan satu gelas ice lemon tea yang sebelumnya telah dipesan Lula.

“Kayanya semester depan aku beneran mau bilang ke bunda sama ayah deh, mending aku ikut les yang lain aja.”

“Mau diganti jadi les apa?” tanya Nasya sambil mengaduk jus jeruk yang tinggal tersisa setengahnya dengan sedotan plastik.

“Aku pengen nyoba les biola, kayanya keren deh kalo aku bisa biola.” wajah Lula tiba-tiba berubah menjadi lebih cerah.

“Eh seinget aku guru les pianoku juga bisa main biola deh, coba nanti aku tanya ya dia bisa ga kalo ngajar biola juga,” ujar Nasya yang langsung disambut anggukan antusias dari Lula.

Keduanya lanjut mengobrol sambil menunggu jemputan masing-masing datang, Lula yang akan dijemput oleh Bundanya dan Nasya yang menungu jemputan Pak Aryo.

Hp Lula yang ia taruh di atas meja tiba-tiba bergetar, menandakan ada panggilan masuk yang ternyata telfon dari bundanya yang memberi kabar kalo bundanya sudah ada di depan. Mendengar kabar itu Lula langsung bangkit dari duduknya setalah membereskan beberapa barangnya yang sebelumnya ia taruh di atas meja kantin.

“Sya, aku duluan ya!” ujar Lula.

“Iya, bye!” Nasya melambaikan tangannya, begitu juga dengan Lula.

Sepeninggalnya Lula, Nasya kembali duduk sendirian di meja kantin. anak perempuan itu memutuskan membuka hp-nya dan memainkan salah satu games yang disebut Kala sebagai “itu mah games ibu-ibu.” Padahal games permen-permen lucu ini adalah satu-satunya games yang Nasya suka—dan bisa ia mainnkan dengan cukup jago.

Tinggal 3 permen lagi yang harus Nasya bebaskan dari bubble berwarna biru muda itu ketika hp-nya bergetar dan memunculkan notifikasi pesan. Nasya kira itu pesan dari Pak Aryo, tapi nyatanya lima gelembung chat yang telah ia baca itu adalah pesan chat yang seharusnya tak pernah ia baca.

***

“Kalian berdua mau ikut turun apa nunggu di mobil aja?” tanya Jovan ketika mobil berhenti di basement gedung kantornya.

Iya, setelah tadi mereka bertiga memutuskan untuk makan malam bersama, tiba-tiba Jovan mendapat panggilan dari salah satu rekan kerjanya bahwa ada dokumen penting yang harus ia tanda tangani malam ini juga. Maka dari itu selesai makan malam Ambar dan Nasya jadi ikut juga untuk mampir sebenta ke kantor Jovan.

“Aku nunggu di mobil aja, pi,” jawab Nasya yang duduk di kursi belakang.

“Yaudah aku nemenin Nasya aja di mobil,” sambung Ambar.

“Oke, tunggu bentar ya, ga akan lama kok.” Jovan mengambil hp dan dompetnya yang ia taruh di dasboard mobil lalu lelaki jangkung itu keluar dari mobilnya.

Suasana di dalam mobil mendadak menjadi sangat sepi, hanya ada suara dari radio mobil yang memutarkan salah satu lagu penyanyi lokal Indonesia. Baik Nasya maupun Ambar sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

“Tadi jadi ke rumah Kala?” tanya Ambar sambil memutar duduknya ke arah belakang, menghadap Nasya.

“Jadi, Kak,” jawab Nasya. Suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

Hari ini Nasya memang terlihat jauh lebih pendiam. Sejak tadi mereka bertiga makan malam, Nasya yang biasanya selalu ceria dan banyak bicara setiap kali Ambar bertemu dengannya, kali ini hanya bicara jika Ambar atau Jovan bertanya.

“Are you okay?” tanya Ambar lagi.

“I don't know.” Nasya mengedikkan bahunya.

“Aku pindah duduk kebalakang ya?” tanya Ambar lagi.

Nasya menganggukan kepala dan mengeser duduknya.

Beberapa saat kemudia Ambar turun dari mobil dan pintu di sebelah kiri Nasya terbuka, Ambar segera masuk kembali ke dalam mobil dan duduk di sebelah Nasya.

“Tadi ngapain aja di rumah Kala?”

“Bantuin packing sedikit, karena masih ada beberapa barang dia yang belum diberesin, makan pizza yang dipesenin ayahnya Kala, terus ngobrol-ngobrol deh.” Nasya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi mobil.

Ada diam beberapa saat, Ambar mengalihkan pandangannya ke arah Nasya. Mata anak perempuan itu masih terlihat sedikit sembab.

“Perpisahan emang rasanya ga pernah enak, ya? perpisahan dalam bentuk apapun.” Ambar ikut menyenderkan punggungnya.

“Aku kira harusnya aku udah terbiasa sama perasaan ini, perasaan ditinggalin, tapi ternyata engga. Tetep kerasa sedihnya.” Ambar mengalihkan pandangannya ke arah Nasya ketika anak perempuan itu berhenti bicara.

Apa yang barusan Nasya katakan, rasanya benar-benar membuat Ambar tersadar kalo anak perempuan yang ada di sebelahnya ini menyimpan banyak luka yang selalu berusaha ia tutupi. Hatinya tiba-tiba terasa sakit luar biasa mendengar Nasya mengatakan itu semua, tapi dengan nada suara yang datar—seolah ia memang harus bisa dan biasa menelan semua rasa sakit itu sendirian.

“Kak Ambar kok nangis?” Nasya menegakan duduknya, ia berbalik menghadap Ambar yang ada di sebelah kirinya.

“Nasya, can I hug you?” bukanya menjawab, Ambar malah balik bertanya.

Nasya merentangkan kedua tangannya dan langsung disambut oleh Ambar, Nasya menaruh dagunya di pundak Ambar.

Rasanya, hangat. Satu kata yang sebenarnya menjelaskan banyak sekali perasaan yang selama ini Nasya butuhkan.

Perasaan yang tidak bisa ia dapatkan hanya dari papinya. Bukan, bukan karena papinya tidak mengusahakan itu, tapi karena memang harus sosok lain yang memberikan perasaan ini untuk Nasya. Sosok lain yang berbeda dari cara papinya menyayanginya selama ini.

Dan tanpa mereka berdua sadari, ada Jovan yang berdiri berjarak beberapa mobil dari sana, jarak yang cukup untuk lelaki itu dapat melihat bagaimana Nasya—putri semata wayangnya memeluk Ambar yang juga balas memeluk Nasya. Tangan Ambar yang mengusap lembut punggung kurus Nasya dan kepala Nasya yang bersandar di pundak Ambar.

Jovan melihat semua itu.

***

Sejak masa sekolah dasar, Nasya bukan tipe anak yang mudah berteman atau akrab dengan orang baru. Nasya cenderung menjadi anak yang tertutup, lebih banyak diam, dan bicara hanya jika ditanya. Alasannya? karena Nasya merasa ia berbeda dengan teman-temannya yang lain.

Nasya masih ingat ketika ia masih duduk di kelas 2 sekolah dasar, hari itu tempat tangga 22 Desember—yang menurut Nasya hari itu sama dengan hari-hari biasanya, tidak ada yang spesial. Tapi, pada hari itu, guru Nasya yang bernama Miss Sifa, mengatakan kalo hari ini semua siswa harus membuat kartu ucapan yang akan mereka hias seindah mungkin. Nasya yang kebingungan kartu ucapan ini harus ia berikan ke siapa dan dalam rangka apa, bertanya pada salah satu teman yang tepat duduk di sampingnya.

“Kartu ucapannya buat siapa? Emang hari ini ada yang ulang tahun ya?”

“Bukan buat ulang tahun, ini kartu ucapan buat hari ibu. Jadi nanti kamu kasih ke ibu kamu, Nasya,” jawab anak perempuan dengan rambut yang diikat dua itu.

Disaat itu juga Nasya makin bingung. Hari ibu? memangnya di dunia ini ada yang namanya hari ibu?

Nasya kecil yang makin kebingunan itu akhirnya memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja Miss Sifa yang ada di depan kelas.

“Miss, kata Hani kartu ucapan ini bukan untuk ulang tahun ya? tapi untuk hari ibu?” tanya Nasya.

“Iya Nasya, betul. Karena hari ini adalah hari ibu, jadi kita bikin kartu ucapan yang paling indah, ya?” Miss Sifa menjawab dengan senyum lembut di wajahnya.

“Tapi miss, gimana caranya Nasya kasih kartu ucapan ini ke Mami?” tanya Nasya lagi.

“Nanti Nasya kasih kalo sudah sampe rumah.”

“Tapi, Mami Nasya ga ada di rumah—” Anak itu terdiam beberapa saat.

“Kalo Nasya bikin untuk Papi aja, boleh gak miss?” lanjut Nasya.

Disaat itu juga, raut wajah Miss Sifa terlihat berbeda dari sebelumnya. Nasya kecil mungkin masih belum paham arti dari perubahan raut wajah perempuan dewasa di depannya itu.

Dengan usapan lembut di tangannya yang mungil, Miss Sifa kembali tersenyum pada anak perempuan dengan mata indah itu. “Boleh, Nasya boleh buat surat ucapannya untuk papi. Di hias yang indah ya, supaya papi Nasya senang waktu terima kartu ucapannya.”

Sejak saat itu, Nasya kecil mulai sadar kalo ia berbeda dari teman-temannya yang lain. Bukan hanya perihal menghias surat ucapan, sih, tapi Nasya mulai sadar jika hampir semua temannya selalu dijemput oleh mami mereka yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Sedangkan Nasya, tentu saja papi Jovan dengan setelan kantornya tidak pernah sekalipun absen melakukan hal yang sama.


“Sya? kamu dengerin aku ngomong gak sih?” Lula melambaikan tangannya di depan wajah Nasya.

Nasya yang baru tersadar dari lamunanya terkejut dengan pertanyaan temannya itu. “Eh sorry, gimana gimana tadi?”

“Aku ngeri kamu kesambet, Sya.” Kala menggelengkan kepalanya sambil menaruh tiga gelas berisi air putih dingin di atas meja.

“Se-sedih itu ya aku tinggal ke UK? sampe ngelamun gitu,” lanjut Kala yang tentu saja langsung membuat Nasya memutarkan matanya dan Lula yang menghadiahi pukulan bantal di pundak anak lelaki itu.

“Tapi beneran sedih, sih.” Kali ini Lula berkata sambil memajukan bibir bawahnya.

“Kalian kan udah biasa temenan berdua dari jaman TK? jadi kalo aku tinggal ya harusnya gapapa dong?” kata Kala sambil mengedikkan bahunya.

“Ih ya tetep aja sedih dong, udah biasa bertiga dari awal masuk SMP terus sekarang tiba-tiba jadi harus berdua lagi.” Perkataan Nasya langsung di setujui Lula.

“Aaaaa sedih banget kan, beneran sedih nih!” Tangis Lula tiba-tiba pecah, anak perempuan dengan rambut panjang itu kini benar-benar menangis sambil memeluk bantal sofa rumah Kala.

“Lulaaaa! kamu jangan nangis, aku jadi pengen nangis juga!” Nasya bangkit dari duduknya dan segera memeluk Lula.

“Ini kalian berdua seriusan nangisin aku?” dan pertanyaan Kala dijawab dengan suara tangis yang lebih kencang dari sebelumnya.

***

Sepanjanga hidupnya, Nasya hanya kenal satu orang di dunia ini yang menjadikan matcha sebagai pilihan rasa minuman atau makanan penutup favorit. Dan orang itu adalah Kala. Tapi, hitungan itu berubah karena sekarang ada sepotong matcha cheese cake di atas meja yang ia tempati bersama Ambar sejak 1 jam lalu.

“Does it taste like a grass?” Nasya mengerutkan dahi dan hidungnya ketika melihat Ambar memotong ujung cheese cake berwarna hijau itu.

“I don't know, I never eat grass.” Ambar ikut mengerutkan dahi dan hidungnya,

“But matcha smell like it.”

“Matcha tuh rasanya pas, gak terlalu manis dan ga bikin eneg.” Ambar menyuap potongan kecil cheese cake dari sendok kecil yang ia pegang.

“Rasa sedikit pait yang muncul di akhirnya itu yang bikin dia cocok buat orang yang ga gitu suka manis kaya aku,” lanjutnya.

“Kala ngomong persis kaya gitu!” Nasya membuka matanya lebih lebar, tanda ia terkejut dengan kalimat yang benar-benar pernah ia dengar sebelumnya.

“Because I said the fact!” Ambar mengangkat kedua bahunya.

“Tapi one day aku mau deh nyoba suka matcha. I mean, aku ngerasa kalo aku terlalu basic karena beli minuman atau dessert apapun selalu milih rasa coklat.” Nasya mengaduk gelas berisi minuman rasa coklat dengan whipped cream yang memenuhi gelas tinggi yang ada di depannya.

“Gak basic sih, cuman it will be better if you try something new, iya kan?” pertanyaan Ambar langsung dibalas anggukan oleh Nasya, tanda bahawa anak perempuan itu setuju dengan apa yang Ambar katakan.

Obrolan keduanya berlanjut sampai pesanan kedua mereka di tempat makan ini habis tak tersisa, sama seperti pesanan pertama—satu porsi egg benedict, Roasted plum tomato soup dan ice lemon tea— yang berhasil membuat Ambar dan Nasya terkejut dengan rasa makanan yang mereka pesan, “This is the best egg benedict i've ever tried” seru Nasya disuapan pertamanya tadi.

“Kala tuh jadinya berangkat hari apa ke UK?” tanya Ambar.

“3 hari lagi, berarti hari selasa.”

“Kamu sama Lula ikut nganter ke bandara?”

“Maunya gitu, cuman aku belom tanya papi sih, boleh apa engga.”

“Hari sekolah sih ya soalnya— Eh ada telfon tuh!” seru Ambar kelita melihat ada notifikasi panggilan masuk di hp Nasya yang ia taruh di atas meja.

“Aneh deh dari kemarin ada nomer gak jelas gini nelfon aku.” Nasya mengeser logo berwarna merah di layar hp-nya.

“Serem banget, Block aja!”

“Udah, tapi ada nomer lain lagi yang nyoba nelfon.”

“Pernah coba kamu angkat telfonnya?” tanya Ambar.

“Pernah, tapi orangnya ga ngomong apa-apa, diem aja gitu.” Nasya mengangkat kedua bahunya.

“Paling juga orang iseng,” lanjut Nasya.